Minggu, 15 Februari 2015

LP ADHF

LAPORAN PENDAHULUAN
ADHF (ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE)
A.  Pengertian
Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) merupakan gagal jantung akut yang didefinisikan sebagai serangan yang cepat (rapid onset) dari gejala–gejala atau tanda– tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Disfungsi ini dapat berupa disfungsi sistolik maupun diastolik, abnormalitas irama jantung, atau ketidakseimbangan preload dan afterload. ADHF dapat merupakan serangan baru tanpa kelainan jantung sebelumnya, atau dapat merupakan dekompensasi dari gagal jantung kronik (chronic heart failure) yang telah dialami sebelumnya. ADHF muncul bila cardiac output tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
B.  Penyebab / faktor predisposisi
1.    Dekompensasi pada gagal jantung kronik yang sudah ada (kardiomiopati)
2.    Sindroma koroner akut
-       Infark miokardial/unstable angina pektoris dengan iskemia yang bertambah luas dan disfungsi sistemik
-       Komplikasi kronik IMA
-       Infark ventrikel kanan
3.    Krisis Hipertensi
4.    Aritmia akut (takikardia ventrikuler, fibrilasi ventrikular, fibrilasi atrial, takikardia supraventrikuler, dll)
5.    Regurgitasi valvular/endokarditis/ruptur korda tendinae, perburukan regurgitasi katup yang sudah ada
6.    Stenosis katup aorta berat
7.    Tamponade jantung
8.    Diseksi aorta
9.    Kardiomiopati pasca melahirkan
10.     Faktor presipitasi non kardiovaskuler
-       Volume overload
-       Infeksi terutama pneumonia atau septikemia
-       Severe brain insult
-       Pasca operasi besar
-       Penurunan fungsi ginjal
C.  Patofisiologi
ADHF dapat muncul pada orang yang sebelumnya menderita gagal jantung kronik asimptomatik yang mengalami dekompensasi akut atau dapat juga terjadi pada mereka yang tidak pernah mengalami gagal jantung sebelumnya. Etiologi ADHF dapat bersumber dari kardiovaskuler maupun non kardiovaskuler. Etiologi ini beserta dengan faktor presipitasi lainnya akan menimbulkan kelainan atau kerusakan pada jantung yang diakibatkan oleh proses iskemia miokard atau hipertropi remodeling otot jantung atau kerusakan katup jantung yang dapat menyebabkan disfungsi ventrikel sehingga terjadi gangguan preload maupun afterload sehingga menurunkan curah jantung. Bila curah jantung menurun, maka tubuh akan mengeluarkan mekanisme neurohormonal untuk mengkompensasi penurunan curah jantung. Mekanisme ini melibatkan sistem adrenergik, renin angiotensin dan aldosteron sehingga terjadi peningkatan tekanan darah akibat vasokonstriksi arteriol dan retensi natrium dan air.
Pada individu dengan remodeling pada jantungnya, mekanisme kompensasi akan menempatkannya pada keadaan gagal jantung asimptomatik dimana jantungnya telah mengalami disfungsi terutama ventrikel tetapi masih bisa dikompensasi agar tetap dapat mempertahankan metabolisme dalam tubuh. Tetapi bila telah mencapai ambang batas kompensasi, maka mekanisme ini akan terdekompensasi sehingga muncul gejala klinis tergantung dari ventrikel yang terkena sehingga muncul ADHF.
Proses remodeling maupun iskemia miokard akan menyebabkan kontraksi miokard menurun dan tidak efektif untuk memompa darah. Hal ini akan menimbulkan penurunan stroke volume dan akhirnya terjadi penurunan curah jantung.
Penurunan kontraktilitas miokard pada ventrikel kiri (apabila terjadi infark di daerah ventrikel kiri) akan menyebabkan peningkatan beban ventrikel kiri. Hal ini disebabkan karena penurnan kontraktilitas miokard disertai dengan peningkatan venous return (aliran balik vena). Hal ini tentunya akan meningkatkan bendungan darah di paru–paru. Bendungan ini akan menimbulkan transudasi cairan ke jaringan dan alveolus paru sehingga terjadilah oedema paru. Oedema ini tentunya akan menimbulkan gangguan pertukaran gas di paru–paru.
Sedangkan apabila curah jantung menurun, maka secara fisiologis tubuh akan melakukan kompensasi melalui perangsangan sistem adrenergik dan RAA untuk mempertahankan curah jantung ke arah normal. Sedangkan apabila tubuh tidak mampu lagi melakukan kompensasi, maka penurunan curah jantung akan memicu penurunan aliran darah ke jaringan berlanjut. Apabila terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, akan memicu retensi garam dan air oleh sistem renin angiotensin aldosteron. Retensi ini akan menjadi lebih progresif karena tidak diimbangi dengan peningkatan tekanan atrium kanan akibat proses dekompensasi, sehingga terjadi kelebihan volume cairan yang berujung pada oedema perifer.
D.  Gejala Klinis
Gejala utama ADHF antara lain sesak napas, konngesti, dan kelelahan yang sering tidak spesifik untuk gagal jantung dan sirkulasi. Gejala–gejala ini juga dapat disebabkan pleh kondisi lain yang mirip dengan gejala gagal jantung, komplikasi yang diidentifikasikan pada pasien dengan gejala ini. variasi bentuk penyakit pulmonal termasuk pneumonia, penyakit paru reaktif dan emboli pulmonal, mungkin sangat sulit untuk dibedakan secara klinis dengan gagal jantung.
Gambaran klinis yang dominan
Gejala
Tanda
Edema perifer/  kongesti
Sesak napas, kelelahan, anoreksia
Edema perifer, peningkatan vena jugularis, edema pulmonal, hepatomegali, asites, overload cairan (kongesti), kaheksia
Edema pulmonal
Sesak napas yang berat saat istirahat
Crackles atau rales pada paru-paru bagian atas, efusi, takikardia, takipnea
Syok kardiogenik (low output syndrome)
Konfusi, kelemahan, dingin pada perifer
Perfusi perifer yang buruk. Tekanan darah sistolik <90 mmHg, anuria atau oliguria.
Tekanan darah tinggi (gagal jantung hipertensif)
Sesak napas
Biasanya terjadi peningkatan tekanan darah, hipertropi ventrikel kiri
Gagal jantung kanan
Sesak napas, kelelahan
Bukti disfungsi ventrikel kanan, peningkatan JVP. Edema perifer, hepatomegali, kongesti usus.

Menurut The Consensus Guideline in The Management of Acute Decompensated Heart Failure tahun 2006, manifestasi klinis ADHF antara lain tertera dalam tabel berikut:
Volume overload
-          Dipsnea saat melakukan kegiatan
-          Orthopnea
-          Paroxysmal nocturnal dypsnea (PND)
-          Ronkhi
-          Cepat kenyang
-          Mual dan muntah
-          Hepatosplenomegali, hepatomegali, atau splenomegali
-          Distensi vena jugularis
-          Reflex hepatojugular
-          Asites
-          Edema perifer
Hipoperfusi
-          Kelelahan
-          Perubahan status mental
-          Penyempitan tekanan nadi
-          Hipotensi
-          Ekstremitas dingin
-          Perburukan fungsi ginjal

E.  Diagnosis
Pasien dengan gagal jantung umumnya datang di instalasi gawat darurat dengan manifestasi klinis volume overload atau hipoperfusi atau keduanya. Pasien yang datang dengan keluhan volume overload relatif mudah untuk didiadnosis. Mereka umunya memiliki tanda dan gejala kongesti paru (dispneu saat melakukan kegiatan,             Orthopnea, Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), dan Ronchi). Sedangkan  manifestasi cepat kenyang, mual dan muntah merupakan akibat dari edema traktus gastrointestinal (GI). Kongesti pada hepar dan spleen atau keduanya menyebabkan hepatosplenomegali, hepatomegali, atau splenomegaly. Pasien juga menunjukan adanya peningkatan tekanan vena jugular dengan atau tanpa peningkatan reflex hepatojugular. Asites dan edema perifer juga muncul akibat akumulasi cairan pada kavitas peritoneum  dan perifer.
Gagal jantung dengan hipoperfusi sulit untuk didiagonosis karena kebanyakan gejala dan tanda tidak spesifik. Hipotensi dan perburukan fungsi ginjal merupakan tolok ukur objektif terhadap hipoperfusi.
Kesulitan mendiagnosis gagal jantung berdasarkan gejala dan tanda memicu berkembangnya usaha untuk mengidentifikasikan biomarker terhadap penyakit ini. Pemeriksaan dengan katerisasi jantung kanan dengan menggunakan Swan Ganz Catheter yang merupakan gold standart untuk pengukuran tekanan intrakardiak dan cardiac output, sayangnya katerisasi jantung merupkan prosedur invasif yang mungkin menimbulkan komlokasi nantinya. Namun pemeriksaan biomarker terhadap gagal jantung seperti B– Type Natriuretic Peptide (BNP), yaitu suatu neurohormonal  yang dilepaskan dari ventrikel jantung (miokardium) sebagai respon terhadap overload cairan dan peningkatan ketegangan dinding (misalnya perenggangan), merupakan penunjang dignostik untuk ADHF dan merupakan prediksi terhadap keparahan dan mortalitas yang dikaitkan dengan gagal jantung. Jantung selain berfungsi sebagai pompa juga berfungsi sebagai organ endokrin yang berfunsi bersama dengan sistem fisiologi lainnya untuk mengatur volume cairan. Miokardium dalam hal ini menghasilkan natriuretic peptide, salah satunya B– Type Natriuretic Peptide, suatu hormone diuretik, natriuretic dan bekerja merelaksasi otot polos vascular.
Pengukuran level B–Type Natriuretic Peptide (BNP) memiliki kaitan terhadap kondisi klinis tertentu antara lain yaitu :
Serum BNP <100
-          Normal atau gagal jantung terkompensasi baik
Serum BNP 100-200
-          Gagal jantung terkompensasi baik
-          Normal (usia lanjut, wanita, penggunaan bet bloker)
-          Cor pulmonal (gagal jantung kanan)
-          Hipertensi, disfungsi diastolik
-          Penyakit jantung iskemik
Serum BNP 200-400
-          Gagal jantung terkompensasi ringan sedang
-          Gagal jantung kronik terkompensasi
Serum BNP >400
-          Gagal jantung kongestif yang berat (hipervolemia)
F.   Pemeriksaan Penunjang
1.     Laboratorium :
-       Hematologi : Hb, Ht, Leukosit
-       Elektrolit     : K, Na, Cl, Mg
-       Enzim Jantung (CK-MB, Troponin, LDH)
-       Gangguan fungsi ginjal dan hati : BUN, Creatinin, Urine Lengkap, SGOT, SGPT. 
-       Gula darah
-       Kolesterol, trigliserida
-       Analisa Gas Darah
2.     Elektrokardiografi, untuk melihat adanya :
-       Penyakit jantung koroner : iskemik, infark
-       Pembesaran jantung ( LVH : Left Ventricular Hypertrophy )
-       Aritmia
-       Perikarditis
3.    Foto Rontgen Thoraks, untuk melihat adanya :
-       Edema alveolar
-       Edema interstitiels
-       Efusi pleura
-       Pelebaran vena pulmonalis
-       Pembesaran jantung
4.    Echocardiogram
-       Menggambarkan ruang –ruang dan katup jantung

G. Penatalaksanaan
Terapi untuk pasien acute decompensated heart failure tidak berubah secara signifikan selama 30  tahun. Algoritma terhadap acute decompensated heart failure yang digunakan untuk mengevaluasi  diagnostik dan prognostik pasien dengan ADHF antara lain yaitu :
                                                                                                                                           
H.  Asuhan keperawatan
Diagnosa
NOC
NIC
Intoleransi Aktivitas

Konservasi energy
·         Istirahat dan aktifitas klien seimbang
·         Klien mengetahui keterbatasan energinya
·         Klien mengubah gaya hidup sesuai tingkat energi
·         Klien memelihara nutrisi yang adekuat
·         Persediaan energi klien cukup untuk beraktifitas
Toleransi aktifitas
·         Saturasi oksigen dalam batas normal/dalam respon aktifitas
·         HR klien dalam kisaran normal
·         Respirasi Rate klien dalam kisaran normal
·         Tekanan darah dalam respon aktifitas
Terapi aktifitas
      Tentukan penyebab intoleransi aktifitas
      Berikan periode istirahat saat beraktifitas
      Pantau respon kerja kardiopulmonal sebelum dan setelah aktifitas
      Minimalkan kerja kardiopulmonal
      Tingkatkan aktifitas secara bertahap
      Ubah posisi pasien secara perlahan dan monitor gejala intoleransi aktifitas
      Ajarkan klien teknik mengontrol pernafasan saat aktifitas.
      Monitor dan catat kemampuan untuk mentoleransi aktifitas
      Monitor intake nutrisi untuk memastian kecukupan sumber energi
      Kolaborasi dengan fisioterapis untuk peningkatan level aktifitas

Nyeri Akut
Kontrol nyeri
·         Klien mengenali faktor penyebab nyeri
·         Klien mengenali lamanya (onset) nyeri
·         Klien mampu menggunakan metode nonfarmakologik    untuk mengurangi nyeri
·         Klien menggunakan analgetik sesuai kebutuhan
·         Klien melaporkan nyeri terkontrol
·         Klien melaporkan skala nyeri berkurang
·         Klien melaporkan frekuensi nyeri berkurang

Manajemen nyeri
        Lakukan pengkajian komprehensif terhadap nyeri (PQRST), observasi tanda nonverbal adanya ketidaknyamanan
        Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
        Kaji lstsr belakang budaya yang mempengaruhi respon nyeri
        Tentukan dampak nyeri terhadap kualitas hidup (ex: tidur, selera makan, aktivitas, kognisi, mood, dll)
        Sediakan informasi tentang nyeri, misalnya penyebab, onset dan durasi nyeri, antisipasi ketidaknyamanan karena prosedur tertentu
        Kontrol factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon klien terhadap ketidaknyamanan (ex: suhu ruang, kebisingan, cahaya)
        Ajarkan teknik nonfarmakologi (ex: biofeedback, TENS, hypnosis, relaksasi, guided imagery, terapi music, distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas, acupressure, aplikasi panas/dingin, dan massase).
        Tingkatkan istirahat dan tidur.
        Monitor kepuasan pasien dengan manajemen nyeri yang dilakukan
        Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
        Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
        Evaluasi efektivitas intervensi
        Kolaborasikan pemberian analgetik
Penurunan Curah Jantung
Pompa Jantung Efektif
·         HR dalam batas normal
·         RR dalam batas normal
·         Toleransi aktivtas
Status sirkulasi
·         Warna kulit normal
·         Tidak terjadi disritmia
·         Tidak ada suara jantung
yang abnormal
·         Tidak terdapat angina
·         Tidak terdapat edema
perifer, edema pulmo
·         Tidak terdapat mual
Cardiac Care
    Catat urine output
    Pantau EKG 12 lead
    Fasilitasi bedrest dan lingkungan yang tenang
    Posisikan supinasi dengan elevasi kepala 30° dan elevasi kaki
    Anjurkan mencegah valsava manufer atau mengejan
    Berikan makanan dalam komposisi lunak
     Berikan oksigenasi dan medikasi
    Monitor tanda tanda vital,bunyi frekuensi dan irama jantung
     Monitor parameter hemodinamik dan perfusi perifer

Circulation care
     Monitor kulit dan ekstremitas
     Monitor tanda tanda vital
     Monitor pemenuhan cairan
     Evaluasi nadi dan edema perifer




2 komentar: