LAPORAN PENDAHULUAN
A.
Pengertian
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan
patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya
hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan
gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi
kiri dan sisi kanan (Mansjoer, 2001).
Gagal jantung kongestif adalah kegagalan ventrikel
kiri dan atau kanan dari jantung yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk
memberikan cardiac output yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan,
menyebabkan terjadinya kongesti pulmonal dan sistemik (Pangastuti, 2009).
B.
Etiologi
Beberapa
etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :
1.
Penyakit Jantung
Koroner
Seseorang
dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita penyakit gagal
jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi ventrikel kiri.
Lebih dari 36% pasiendengan penyakit jantung koroner selama 7-8 tahun akan
menderita penyakit gagal jantung kongestif (Hellerman, 2003). Pada negara maju,
sekitar 60-75% pasien penyakit jantung koroner menderita gagal jantung
kongestif (Mann, 2008). Bahkan dua per tiga pasien yang mengalami disfungsi sistolik
ventrikel kiri disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner (Doughty dan White,
2007).
2.
Hipertensi
Peningkatan
tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi terjadinya gagal
jantung (Riaz, 2012). Berdasarkan studi Framingham dalam Cowie tahun 2008
didapati bahwa 91% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi. Studi
terbaru Waty tahun 2012 di Rumah Sakit Haji Adam Malik menyebutkan bahwa 66.5%
pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi. Hipertensi menyebabkan gagal
jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik dari
ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposisi terjadinya
infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya akan berujung pada
gagal jantung kongestif (Lip dkk, 2000).
3.
Cardiomiopathy
Cardiomiopathy
merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak disebabkan oleh penyakit
jantung koroner, hipertensi atau kelainan kongenital. Cardiomiopathyterdiri
dari beberapa jenis. Diantaranya ialah
dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya
gagal jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel
kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh
hipertrofi sel miokardium dengan peningkatan ukuran dan penambahan jaringan
fibrosis (Lip dkk, 2000).
Hipertrophic
cardiomiopathymerupakan salah satu jenis cardiomiopathyyang bersifat herediter
autosomal dominan. Karakteristik dari jenis ini ialah abnormalitas pada serabut
otot miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga menyebabkan hipertrofi
septum. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta (aortic outflow).
Kondisi ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk, peningkatan
tekanan diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel (Scoote dkk, 2005).
Jenis
lain yaitu Restrictive and obliterative
cardiomiopathy. Karakteristik dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel
dan komplians yang buruk, tidak ditemukan adanya pembesaran dari jantung.
Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi saat diastolik sehingga
pengisian ventrikel berkurang dari normal. Kondisi yang dapat menyebabkan
keadaan ini ialah Amiloidosis, Sarcoidosis,
Hemokromasitomatosis dan penyakit resktriktif lainnya (Scoote dkk,
2005).
4.
Kelainan Katup
Jantung
Dari
beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering menyebabkan gagal
jantung kongestif ialah Regurgitasi Mitral. Regurgitasi mitral meningkatkan
preload sehingga terjadi peningkatan volume di jantung. Peningkatan volume
jantung memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat
didistribusi ke seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama menyebabkan
gagal jantung kongestif (Lip dkk, 2000).
5.
Aritmia
Artial
Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa perlu adanya
faktor concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi. 31% dari pasien gagal
jantung ditemukan gejala awal berupa atrial fibrilasi dan ditemukan 60% pasien
gagal jantung memiliki gejala atrial fibrilasi setelah dilakukan pemeriksaan
echocardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung tetapi juga
memperparah prognosis dengan meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Cowie
et.al., 1998).
6.
Alkohol dan
Obat-obatan
Alkohol
memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan atrial fibrilasi ataupun
gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka panjang menyebabkan dilated
cardiomiopathy. Didapati 2-3% kasus gagal jantung kongestif yang disebabkan
oleh konsumsi alkohol jangka panjang. Sementara itu beberapa obat yang memiliki
efek toksik terhadap miokardium diantaranya ialah agen kemoterapi seperti
doxorubicin dan zidovudine yang merupakan antiviral (Cowie, 2008).
7.
Lain-lain
Merokok
merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk menyebabkan penyakit
gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada wanita belum ada fakta
yang konsisten (Lip dkk, 2000). Sementara diabetes merupakan faktor independen
dalam mortalitas dan kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif
melalui mekanisme perubahan struktur dan fungsi dari miokardium. Selain itu,
obesitas menyebabkan peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko penyakit
jantung koroner yang merupakan penyebab utama dari gagal jantung kongestif.
Berdasarkan studi Framingham disebutkan bahwa diabetes merupakan faktor resiko
yang untuk kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang berujung pada gagal jantung
(Lip dkk, 2000).
Main cause
|
·
Ischemic heart
disease (35-40%)
·
Cardiomiopathy
expecially dilated (30-34%)
·
Hypertension
(15-20%)
|
Other Cause
|
o
Cardiomyopathy
undilated: Hyperttrophy/obstructive, restrictive (amyloidosis, sarcoidosis)
o
Valvular heart
disease (mitral, aortic, tricuspid)
o
Congenital
heart disease (ASD,VSD)
o
Alcohol and
drugs (chemotherapy-trastuzamab, imatinib)
o
Hyperdinamic
circulation (anemia, thyrotoxicosis, haemochromatosis)
o
Right Heart
failure (RV infarct,pulmonary hypertension, pulmonary embolism, COPD
o
Tricuspid
incompetence
o
Arrhythmia
(AF, Bradycardia (complete heart block, the sick sinus syndrome))
o
Pericardial
disease (constrictive pericarditis, pericardial effusion)
o
Infection
(Chagas’ disease)
|
Sumber:
Kumar dkk, 2009. Cardiovascular disease. In : Clinical Medicine Ed 7th
C.
Patogenesis
Gagal
Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak bisa
berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan
hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter seperti cardiomiopathy. Kondisi-kondisi tersebut
menyebabkan penurunan kapasitas pompa jantung. Namun, pada awal penyakit,
pasien masih menunjukkan asimptomatis ataupun gejala simptomatis yang minimal.
Hal ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh yang disebabkan oleh cardiac
injury ataupun disfungsi ventrikel kiri (Mann, 2010).
Beberapa
mekanisme yang terlibatdiantaranya: (1) Aktivasi Renin Angiotensin Aldosteron
(RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2) peningkatan kontraksi miokardium.
Sistem ini menjaga agar cardiac outputtetap normal dengan cara retensi cairan
dan garam. Ketika terjadi penurunan cardiac output maka akan terjadi
perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus dan arkus aorta,
kemudian memberi sinyal aferen ke sistem syaraf sentral di cardioregulatory
centeryang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik Hormon (ADH) dari hipofisis
posterior. ADH akan meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus sehingga
reabsorbsi air meningkat (Mann, 2008). Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi
sistem syaraf simpatis yang menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah
perifer, dan otot skeletal. Stimulasi simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi
renin. Peningkatan renin meningkatkan kadar angiotensin II dan aldosteron.
Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan dan garam melalui vasokonstriksi
pembuluh darah perifer. Mekanisme kompensasi neurohormonal ini berkontribusi
dalam perubahan fungsional dan struktural jantung serta retensi cairan dan
garam pada gagal jantung kongestif yang lebih lanjut (Mann, 2008).
D.
Patofisiologi
CHF terjadi karena
interaksi kompleks antara faktor-faktor yang memengaruhi kontraktilitas, after
load, preload, atau fungsi lusitropik (fungsi relaksasi) jantung, dan respons
neurohormonal dan hemodinamik yang diperlukan untuk menciptakan kompensasi sirkulasi.
Meskipun konsekuensi hemodinamik gagal jantung berespons terhadap intervensi
farmakologis standar, terdapat interaksi neurohormonal kritis yang efek
gabungannya memperberat dan memperlama sindrom yang ada.
Sistem renin
angiotensin aldosteron (RAA): Selain untuk meningkatkan tahanan perifer dan
volume darah sirkulasi, angiotensin dan aldosteron berimplikasi pada perubahan
struktural miokardium yang terlihat pada cedera iskemik dan kardiomiopati
hipertropik hipertensif. Perubahan ini meliputi remodeling miokard dan kematian
sarkomer, kehilangan matriks kolagen normal, dan fibrosis interstisial.
Terjadinya miosit dan sarkomer yang tidak dapat mentransmisikan kekuatannya,
dilatasi jantung, dan pembentukan jaringan parut dengan kehilangan komplians
miokard normal turut memberikan gambaran hemodinamik dan simtomatik pada CHF.
Sistem saraf simpatis
(SNS): Epinefrin dan norepinefrin menyebabkan peningkatan tahanan perifer
dengan peningkatan kerja jantung, takikardia, peningkatan konsumsi oksigen oleh
miokardium, dan peningkatan risiko aritmia. Katekolamin juga turut menyebabkan
remodeling ventrikel melalui toksisitas langsung terhadap miosit, induksi
apoptosis miosit, dan peningkatan respons autoimun. Vasodilator endogen,
seperti endotelin dan oksida nitrat, peptida jantung, dan peptida natriuretik:
Perannya dalam CHF sedang diselidiki dan intervensinya sedang diuji.
Sitokin imun dan
inflamasi: Faktor nekrosis tumor alfa (TNFa) dan interleukin 6 (IL-6)
menyebabkan remodeling ventrikel dengan apoptosis miosit, dilatasi ventrikel,
dan penurunan kontraktilitas. Lebih lanjut, mereka juga berperan dalam efek
sistemik seperti penurunan berat badan dan kelemahan yang terlihat pada CHF
brat (kakheksia jantung). Kejadian etiologi awal memengaruhi respons awal
miokardium, tetapi seiring dengan perkembangan sindrom, mekanisme umum mulai
muncul sehingga pasien CHF lanjut memperlihatkan gejala dan respons yang sama
terhadap intervensi farmakologis yang sama apapun penyebab awal CHF-nya. Meskipun
banyak pasien mengalami disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik,
kategori ini sebaiknya dianggap sebagai hal yang berbeda untuk dapat memahami
efeknya terhadap homeostasis sirkulasi dan responsnya terhadap berbagai
intervensi.
Disfungsi
ventrikel kiri sistolik
1. Penurunan
curah jantung akibat penurunan kontraktilitas, peningkatan afterload, atau
peningkatan preload yang mengakibatkan penurunan fraksi ejeksi dan peningkatan
volume akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDV). Ini meningkatkan tekanan akhir
diastolik pada ventrikel kiri (I-VEDP) dan menyebabkan kongesti vena pulmonal
dan edema paru.
2. Penurunan
kontraktilitas (inotropi) terjadi akibat fungsi miokard yang tidak adekuat atau
tidak terkoordinasi schingga ventrikel kiri tidak dapat melakukan ejeksi lebih
dari 60% dari volume akhir diastoliknya (LVEDV). lni menyebabkan peningkatan
bertahap LVEDV (juga dinamakan preload) mengakibatkan peningkatan LVEDP dan
kongesti vena pulmonalis. Penyebab penurunan kontraktilitas yang tersering
adalah penyakit jantung iskemik, yang tidak hanya mengakibatkan nekrosis
jaringan miokard sesungguhnya, tetapi juga menyebabkan remodeling ventrikel
iskemik. Remodeling iskemik adalah sebuah proses yang sebagian dimediasi oleh
angiotensin II (ANG II) yang menyebabkan jaringan parut dan disfungsi sarkomer
di jantung sekitar daerah cedera iskemik. Aritmia jantung dan kardiomiopati
primer seperti yang disebabkan olch alkohol, infeksi, hemakromatosis,
hipertiroidisme, toksisitas obat dan amiloidosis juga menyebabkan penurunan
kontraktilitas. Penurunan curah jantung mengakibatkan kekurangan perfusi pada
sirkulasi sistemik dan aktivasi sistem saraf simpatis dan sistem RAA,
menyebabkan peningkatan tahanan perifer dan peningkatan afterload.
3. Peningkatan
afterload berarti terdapat peningkatan tahanan terhadap ejeksi LV. Biasanya
disebabkan oleh peningkatan tahanan vaskular perifer yang umum terlihat pada
hipertensi. Bisa juga diakibatkan oleh stenosis katup aorta. Ventrikel kiri
berespon terhadap peningkatan beban kerja ini dengan hipertrofi miokard, suatu
respons yang meningkatkan massa otot ventrikel kiri tetapi pada saat yang sama
meningkatkan kebutuhan perfusi koroner pada ventrikel kiri. Suatu keadaan
kelaparan energi tercipta sehingga berpadu dengan ANG II dan respons
neuroendokrin lain, menyebabkan perubahan buruk dalam miosit seperti semakin
sedikitnya mitokondria untuk produksi energi, perubahan ekspresi gen dengan
produksi protein kontraktil yang abnormal (aktin, miosin, dan tropomiosin),
fibrosis interstisial, dan penurunan daya tahan hidup miosit. Dengan berjalannya
waktu, kontraktilitas mulai menurun dengan penurunan curah jantung dan fraksi
ejeksi, peningkatan LVEDV, dan kongesti paru.
4. Peningkatan
preload berarti peningkatan LVEDV, yang dapat disebabkan langsung oleh
kelebihan volume intravaskular sama seperti yang terlihat pada infus cairan
intra vena atau gagal ginjal. Selain itu, penurunan fraksi ejeksi yang
disebabkan oleh perubahan kontraktilitas atau afterload menyebabkan peningkatan
LVEDV sehingga meningkatkan preload. Pada saat LVEDV meningkat, ia akan meregangkan
jantung, menjadikansarkomer berada pada posisi mekanis yang tidak menguntungkan
sehingga terjadi penurunan kontraktilitas. Penurunan kontraktilitas ini, yang
menyebabkan penurunan fraksi ejeksi, menyebabkan peningkatan LVEDV yang lebih
lanjut, sehingga menciptakan lingkaran setan perburukan gagal jantung.
Disfungsi ventrikel
kiri diastolik
1. Penyebab dari 90%
kasus
2. Didefinisikan sebagai
kondisi dengan temuan klasik gagal kongestif dengan fungsi diastolik abnormal
tetapi fungsi sistolik normal; disfungsi diastolik mumi akan dicirikan dengan
tahanan terhadap pengisian ventrikel dengan peningkatan LVEDP tanpa peningkatan
LVEDV atau penurunan curah jantung.
3. Tahanan terhadap
pengisian ventrikel kiri terjadi akibat relaksasi abnormal (lusitropik) ventrikel
kiri dan dapat disebabkan oleh setiap kondisi yang membuat kaku miokard
ventrikel seperti penyakit jantung iskemik yang menyebabkan jaringan parut,
hipertensi yang mengakibatkan kardiomiopati hipertrofi, kardiomiopati
restriktif, penyakit katup atau penyakit perikardium.
4. Peningkatan denyut
jantung menyebabkan waktu pengisian diastolik menjadi berkurang dan memperberat
gejala disfungsi diastolik. Oleh karena itu, intoleransi terhadap olahraga
sudah menjadi umum.
5.
Karena penanganan biasanya memerlukan perubahan komplians miokard yang
sesungguhnya, efektivitas obat yang kini tersedia masih sangat terbatas.
Penatalaksanaan terkini paling berhasil dengan penyekat beta yang meningkatkan
fungsi lusitropik, menurunkan denyut jantung, dan mengatasi gejala. Inhibitor
ACE dapat membantu memperbaiki hipertrofi dan membantu perubahan struktural di
tingkat jaringan pada pasien dengan remodeling iskemik atau hipertensi.
E.
Manifestasi klinis
Ada
beberapa gejala yang lebih spesifik, antara lain:
1.
Nyeri
Jika
otot tidak mendapatkan cukup darah (iskemia), maka oksigen yang tidak memadai
dan hasil metabolisme yang berlebihan menyebabkan kejang. Angina merupakan
perasaan sesak di dada atau perasaan dada diremas-remas, yang timbul jika otot
jantung tidak mendapatkan darah yang cukup. Jenis dan beratnya nyeri atau
ketidaknyamanan ini bervariasi pada setiap orang (Necel, 2009).
Beberapa
orang yang mengalami kekurangan aliran darah bisa tidak merasakan nyeri sama
sekali. Sesak napas merupakan gejala yang biasa ditemukan pada gagal jantung.
Sesak merupakan akibat dari masuknya cairan ke dalam rongga udara di paru-paru
(kongesti pulmoner atau edema pulmoner) (Necel, 2009).
2.
Palpitasi
3.
Pusing dan
pingsan
Penurunan
aliran darah karena denyut atau irama jantung yang abnormal atau karena kemampuan
memompa yang buruk, bisa menyebabkan pusing dan pingsan (Necel, 2009).
F.
Klasifikasi
Kelas
|
Tanda
|
Kelas
I
|
Tidak ada
keterbatasan dalam aktivitas fisik. Aktivitas fisik tidak menyebabkan sesak
nafas, fatigue, atau palpitasi.
|
Kelas
II
|
Sedikit
mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik.
Merasa nyaman
saat beristirahat tetapi saat melakukan aktivitas fisik mulai merasakan
sedikit sesak, fatigue, dan palpitasi.
|
Kelas
III
|
Mengalami
keterbatasan dalam aktivitas fisik. Merasa nyaman saat istirahat namun ketika
melakukan aktivitas fisik yang sedikit saja sudah merasa sesak, fatigue, dan palpitasi.
|
Kelas
IV
|
Tidak bisa
melakukan aktivitas fisik. Saat istirahat gejala bisa muncul dan jika melakukan
aktivitas fisik maka gejala akan meningkat.
|
Sumber
: European Society of Cardiology (ESC), 2012. Guideline for the Diagnosis and
Treatment of Acute and Chronic heart Failure.
G.
Komplikasi
1.
Kerusakan atau
kegagalan ginjal. Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, bisa
yang akhirnya menyebabkan gagal ginjal jika tidak ditangani Kerusakan ginjal
dari gagal jantung dapat membutuhkan dialisis untuk pengobatan.
2.
Masalah katup
jantung. Katup jantung yang membuat darah mengalir dalam arah yang benar
melalui jantung, dapat menjadi rusak dari darah dan penumpukan cairan dari
gagal jantung.
3.
Kerusakan hati.
Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang menempatkan terlalu
banyak tekanan pada hati. Hal ini cadangan cairan dapat menyebabkan jaringan
parut, yang membuatnya lebih sulit bagi hati berfungsi dengan benar.
4.
Serangan jantung
dan stroke. Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung
daripada di jantung yang normal, maka semakin besar kemungkinan akan
mengembangkan pembekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko terkena serangan
jantung atau stroke (Mayo clinic, 2009).
H.
Pemeriksaan penunjang (Davey, 2005)
Dilakukan
untuk menemukan penyebab, menilai beratnya penyakit dan memantau pengobatan:
1.
Ekokardiografi:
teknik esensial yang sederhana dan non invasif dalam menegakkan diagnosis
etiologi, keparahan dan menyingkirkan penyakit katup jantung yang penting.
2.
EKG: MI lama,
hipertrofi ventrikel kiri (misalnya pada hipertensi, stenosis aorta). Gambaran
EKG yang normal sangat dijumpai pada CHF. Aritmia, misalnya pada fibrilasi
atrium.
3.
Foto toraks:
pembesaran jantung, kongesti paru atau edema paru.
4.
Biokimia:
elektrolit, fungsi ginjal, dan hematologi (anemia), fungsi tiroid
5.
Scan isotop
nuklir: bermanfaat untuk pengukuran fraksi ejeksi yang akurat (ventrikulografi
isotop) atau miokardium yang tidak berfungsi (otot jantung tidak berkontraksi
akibat stenosis koroner yang hebat pada arteri yang memberi nutrisi, yang akan
berkontraksi bila aliran darah membaik misalnya dengan angioplasti transluminal
perkutan (PTCA) atau cangkok bypass arteri koroner (CABG).
6.
Kateterisasi
jantung: pada semua gagal jantung yang penyebabnya tidak diketahui untuk
menyingkirkan penyakit jantung koroner kritis, atau untuk menilai keparahan PJK
dan pilihan pengobatan pada mereka yang memiliki riwayat penyakit jantung
iskemik.
7.
Pencatatan EKG
24 jam untuk menilai adanya aritmia.
I.
Penatalaksanaan
(Davey, 2005)
1.
Terapi umum:
obati penyebab yang mendasari dan aritmia bila ada. Kurangi asupan garam dan
air, pantau terapi dengan mengukur berat badan setiap hari. Obati faktor risiko
hipertensi dan PJK dengan tepat.
2.
Diuretik
adalah dasr untuk terapi simptomatik. Dosisnya harus cukup besar untuk
menghilangkan edema paru dan atau perifer. Spironolakton suatu diuretik hemat
kalium (antagonis aldosteron), memperbaiki prognosis pada CHF berat.
3.
Inhibitor ACE
menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, memotong respons
neuroendokrin maladaptif, menimbulkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan
darah.
4.
Antagonis reseptor angiotensin II misalnya losartan, menghambat angiotensin II dengan
antagonis langsung terhadap reseptornya.
5.
Bloker β
seperti bisoprolol, metoprolol dan karvedilol. Beta bloker (diberikan hanya
pada pasien yang stabil, dengan dosis rendah dinaikkan bertahap) membalikkan
keadaan ini dan memperbaiki status fungsional serta prognosis. Menurunkan
kegagalan pompa serta kematian mendadak akibat aritmia.
6.
Digoksin
memiliki efek inotropik positif pada irama sinus dan menyebabkan perbaikan
simtomatik serta menurunkan tingkat perawatan di rumah sakit, walaupun tidak
mempengaruhi tingkat mortalitas.
J.
Diagnosa keperawatan
1.
Penurunan curah
jantung
2.
Ketidakefektifan
pola napas
3.
Intoleransi
aktivitas
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi
3, Medica Aesculpalus. Jakarta: FKUI. 2001
Pangastuti, Devi. Asuhan Keperawatan dengan Gagal Jantung Kongestif di Rumah Sakit
Roemani Semarang. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang. 2009
Necel. Gagal Jantung. Samarinda: Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman. 2009
Mann, D.L. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci, A.S., et al., eds. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Volume 2. ed. 17th USA: McGraw-Hill. 2008
Doughty, R.M., White, H.D. Epidemiology of Heart Failure. New
Zealand: University of Auckland. 2007
Riaz, K. Hypertensive Heart Disease. Wright State University. 2012. Dari: http://emedicine.medscape.com/article/162449-overview
Cowie, M.R., Dar, Q. The Epidemiology and Diagnosis of Heart
Failure. In: Fuster, V., et al., eds. Hurst’s the Heart. 12th ed. Volume 1.
USA: McGraw-Hill. 2008.
Davey, Patrick. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. 2005