PEMBAHASAN
A.
Hipersensitivitas
Alergi atau
hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang
bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi
berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing
dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat
atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut
alergen.
Suatu reaksi
hipersensitivitas biasanya tidak akan terjadi sesudah kontak pertama kali
dengan sebuah antigen.reaksi terjadi pada kontak ulang sesudah seseorang yang
memiliki predisposisi mengalami sensitisasi. Sensitisasi memulai respon humoral
atau pembentukan antibodi. Untuk menambah pemahaman mengenai imunopatogenesis
penyakit, reaksi hipersensitivitas telah diklasifikasikan oleh Gell dan Coombs
menjadi 4 reaksi yang spesifik. Sebagian besar alergi dikenali sebagai reaksi
hipersensitivitas tipe I atau tipe IV
Reaksi
hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
1. Tipe I : Reaksi
Anafilaksis
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal
ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat
terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung
atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring,
jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat
mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga
kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen,
namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.
Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen
seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat
dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
2. Tipe II : reaksi
sitotoksik
Hipersensitivitas tipe
II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan
antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas
atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen
tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen
permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target
sel.
Hipersensitivitas dapat
melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi
sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Mekanisme reaksinya
adalah sebagai berikut :
1. Fagositosis sel melalui proses apsonik
adherence atau immune adherence.
2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K
(Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc.
3. Lisis sel karena
bekerjanya seluruh sistem komplemen
Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:
-
Pemfigus (IgG bereaksi dengan
senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
-
Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel
pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti
hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah
merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
-
Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
3. Tipe III : reaksi imun
kompleks
Di sini antibodi
berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini
menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan
terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh
darah kecil. Di kornea dapat berupa keratitis herpes simpleks, keratitis karena
bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada
keratitis Herpes simpleks.
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi,
terdiri dari :
1.
Infeksi persisten
Pada infeksi
ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ
yang diinfektif dan ginjal.
2.
Autoimunitas
Pada reaksi ini
terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal,
sendi, dan pembuluh darah.
3.
Ekstrinsik
Pada reaksi
ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks
yang mengendap adalah paru.
4. Tipe IV : Reaksi tipe
lambat
Sedangkan pada tipe IV
yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit
T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan
menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi penolakan
pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan
keratitis diskiformis
B. Manifestasi klinis
Manisfestasi dan mekanisme reaksi
hipersensitivitas
Tipe
|
Manisfestasi
|
Mekanisme
|
I
|
Reaksi hipersensitivitas cepat
|
Biasanya Ig E
|
II
|
Antibodi terhadap sel
|
Ig G dan Ig M
|
III
|
Kompleks antibodi-antigen
|
Ig G
(terbanyak) atau Ig M
|
IV
|
Reaksi hipersensitivitas lambat
|
Sel T yang disensitisasi
|
Tanda gejala dan contoh
klinis hipersensitivitas
Tipe I : anafilaksis
|
Tipe II : sitotoksik
|
Tipe III : imun
kompleks
|
Tipe IV : tipe lambat
|
||||
Tanda dan gejala
|
Contoh klinis
|
Tanda dan gejala
|
Contoh klinis
|
Tanda dan gejala
|
Contoh klinis
|
Tanda dan gejala
|
Contoh klinis
|
Sistemik :
1.Angioedema
2.Hipotensi
3.spasme bronkus, GI,
atau uterus
4.stridor
lokal :
urtikaria
|
Asma ekstrinsik,
rinitis alergik musiman, anafilaksis sistemik, reaksi terhadap serangga penyengat,
reaksi terhadap ebberapa makanan dan obat, beberapa kasus urtikaria, ekzem
infantilis
|
Bervariasi menurut
jenis penyakit :
dispnea, hemoptisis,
panas.
|
Sindrom goodpasture,
anemia hemolitik autoimun, trombositopenia, pemfigus, pemfigoid, anemia pernisiosa,
rejeksi cangkokan hiperakut pada transpalntasi ginjal, reaksi transfusi,
kelainan hemolitik pada bayi baru lahir, beberapa reaksi obat
|
Urtikaria (ruam
multiformis, skarlatiniformis, morbiliformis), adenopati, nyeri, sendi, panas
(serum sickness)
|
Sistemik :
1.serum sickness
akibat serum, obat atau antigen virus hepatitis
2.glomerulonefritis
akut
3.sistemik lupus
eritematosus
4.artritis rematoid
4.poliartritis
5.krioglobulinemia
lokal :
reaksi arthus
|
Bervariasi menurut
jenis penyakitnya :
Panas, eritema, dan
gatal- gatal
|
Dermatitis kontak,
cangkokan versus resipien (graft versus host disease), rejeksi alograft,
grauloma akibat mikroorganisme intraseluler, beberapa sensitivitas obat,
tiroiditis hashimoto, tuberkulosis, sarkoiditis
|
Anafilaksis
Anafilaksis merupakan
respons klinis terhadap reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe I)
antara antigen yang spesifik dan antibodi. Reaksi tersebut terjadi akibat
antibodi IgE dengan cara berikut :
1. Antigen melekat pada
antibodi IgE yang terikat dengan membran permukaan sel mast serta basofil dan
menyebabkan sel-sel target ini diaktifkan.
2. Sel mast dan basofil
kemudian melepas mediator yang menyebabkan perubahan vaskuler,pengaktifan
trombosit,eosinofil serta neutrofil dan pengaktifan rangkaian peristiwa
koagulasi.
Reaksi anafilaktoid
secara klinis serupa dengan anafilaksis. Namun, reaksi ini tidak diantarai oleh
interaksi antigen-antibodi tetapi sebagai akibat dari substansi yang bekerja
langsung pada sel-sel mast atau jaringan yang menyebabkan pelepasan mediator.
Reaksi ini dapat terjadi pada penggunaan obat-obatan, konsumsi makanan, latihan
fisik dan transfusi antibodi sitotoksik.
Tipe - Tipe reaksi anafilaktik :
Lokal : reaksi
anafilaktik lokal biasanya meliputi ultikuria serta angioderma pada tempat
kontak dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi jaraang
fatal.
Sistemik : reaksi
sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah kontak dalam sistem
organ berikut ini : kardiovaskuler, respiratorius,gastrointestinal dan integumen.
C. Etiologi
Terr menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan
reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan
alergen lain yang tidak bisa di golongkan:
Allergen
penyebab Anafilaksis
|
|
Makanan
|
Krustasea:
Lobster, udang dan kepiting
Moluska
: kerang, Ikan
Kacang-kacangan,
biji-bijian, buah beri, putih telur, susu
|
Obat-obatan
|
Hormon :
Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim :
Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase Vaksin dan Darah
Toxoid
: ATS, ADS, SABU Ekstrak alergen untuk uji kulit Dextran Antibiotika
Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciprofloxacin,Amphotericin
B, Nitrofurantoin.
Agent
diagnostik-kontras Vitamin B1, Asam folat.
Agent
anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain:
Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine, Aminopyrine,
Acetil cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan HCT
|
Serangga
|
Lebah
madu,tawon,semut api
|
Lain-lain
|
Lateks,
Karet, Glikoprotein seminal fluid
|
Proses Penyakit
Oleh Coomb dan Gell (1963), anafilaksis dikelompokkan dalam
hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipe segera (Immediate type reaction).
Mekanisme anafilaksis
melalui beberapa fase :
1. Fase Sensitisasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat
kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag.
Makrofag segera mempresen-tasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia
akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi
Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian
terikat pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
2. Fase Aktivasi
Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama.
Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke
dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu
terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula
yang di sebut dengan istilah Preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi
merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan
Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut Newly formed mediators.
3. Fase Efektor
Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada
organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.
Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi, demikian juga
dengan Leukotrien.
Secara ringkas,
berbagai senyawa kemotaksis, vasoaktif, dan bronkospasme memerantai reaksi
hipersensitivitas tipe 1.Beberapa senyawa ini dilepaskan secara cepat dari sel
mast yang tersensitasi dan bertanggung jawab terhadap reaksi segera yang hebat
yang berhubungan dengan kondisi seperti anafilaksis sistemik. Senyawa lain,
seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, termasuk
rekrutmen sel radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya
melepaskan mediator tambahan, tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel
setempat.
D.
Manifestasi klinis
Tanda dan gejala utama pada reaksi anafilaktik dapat digolongkan
menjadi reaksi sistemik yang ringan, sedang dan berat.
Ringan. Reaksi
sistemik yang ringan terdiri dari rasa kesemutan serta hangat pada bagian
perifer dan dapat disertai dengan perasaan penuh dalam mulut serta tenggorokan.
Kongesti nasal, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin dan mata
berair dapat terjadi. Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama sesudah
kontak.
Sedang. Reaksi
sistemik yang sedang dapat mencakup salah satu gejala diatas disamping gejala
flushing, rasa hangat, cemas, dan gatal-gatal. Reaksi yang lebih serius berupa
bronkospasme dan edema saluran pernafasan atau laring dengan dispnea, batuk
serta mengi. Aawitan hgejala sama seperti reaksi yang ringan.
Berat. Reaksi
sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda-tanda serta gejala
yang sama seperti diuraikan di atas dan berjalan dengan cepat hingga terjadi
bronkospasme, edema laring, dispnea berat serta sianosis. Disfagia (kesulitan
menelan), kram abdomen, vomitus, diare, dan serangan kejang-kejang dapat
terjadi. Kadang-kadang timbul henti jantung.
E.
Komplikasi
·
Eritroderma eksfoliativa sekunder
Eritroderma (
dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya
eritema seluruh / hampir seluruh tubuh, biasanya disertai skuama (Arief
Mansjoer , 2000 : 121)
Etiologi eritroderma
eksfoliativa sekunder
-
Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya ,
sulfonamide , analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin.
-
Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat terjadi pada liken
planus , psoriasis , pitiriasis rubra pilaris , pemflagus foliaseus ,
dermatitis seboroik dan dermatitis atopik.
-
Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.
(Arief Mansjoer , 2000 : 121 : Rusepno Hasan 2005 : 239)
(Arief Mansjoer , 2000 : 121 : Rusepno Hasan 2005 : 239)
·
Abses limfedenopati
Limfadenopati
merujuk kepada ketidaknormalan kelenjar getah bening dalam ukuran, konsistensi
ataupun jumlahnya. Limfadenopati dapat timbul setelah pemakaian obat-obatan
seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan lainnya seperti allupurinol,
atenolol, captopril, carbamazepine, cefalosporin, emas, hidralazine, penicilin,
pirimetamine, quinidine, sulfonamida, sulindac). Pembesaran karena obat umumnya
seluruh tubuh (generalisata).
·
Furunkulosis
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan
jaringan yangdisekitarnya, yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
Apabila furunkelnya lebihdari satu maka disebut furunkolosis.
Faktor
predisposisi:
-
Hygiene yang tidak baik
-
Diabetes mellitus
-
Kegemukan
-
Sindrom hiper IgE
-
Carier kronik S.aureus (hidung)
-
Gangguan kemotaktik
-
Ada penyakit yang mendasari, seperti HIV
-
Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi, ekscoriasi, scabies atau
pedikulosis (adanya lesi pada kulit atau kulit utuh bisa juga karena garukan
atau sering bergesekan)
·
Rinitis
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatumediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (von Pirquet,1986).
·
Stomatitis
Stomatitis Aphtous Reccurent atau yang di kalangan awam disebut
sariawan adalah luka yang terbatas pada jaringan lunak rongga mulut. Hingga
kini, penyebab dari sariawan ini belum dipastikan, tetapi ada faktor-faktor
yang diduga kuat menjadi pemicu atau pencetusnya. Beberapa diantaranya adalah:
-
Trauma pada jaringan lunak mulut (selain gigi), misal tergigit,
atau ada gigi yang posisinya di luar lengkung rahang yang normal sehingga
menyebabkan jaringan lunak selalu tergesek/tergigit pada saat makan/mengunyah
-
Kekurangan nutrisi,terutama vitamin B12, asam folat dan zat besi.
-
Stress
-
Gangguan hormonal, seperti pada saat wanita akan memasuki masa
menstruasi di mana terjadi perubahan hormonal sehingga lebih rentan terhadap
iritasi
-
Gangguan autoimun / kekebalan tubuh, pada beberapa kasus penderita
memiliki respon imun yang abnormal terhadap jaringan mukosanya sendiri.
-
Penggunaan gigi tiruan yang tidak pas atau ada bagian dari gigi
tiruan yang mengiritasi jaringan lunak
-
Pada beberapa orang, sariawan dapat disebabkan karena
hipersensitivitas terhadap rangsangan antigenik tertentu terutama makanan.
·
Konjungtivitis
Konjungtivitis
adalah radang atau infeksi pada konjungtiva dimana batasnya dari kelopak mata
hingga sebagian bola mata.
Etiologi:
-
Infeksi oleh virus
-
Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
-
Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi lainnya
-
Kelainan saluran air mata, dll.
·
Kolitis Bronkolitis
·
Hepatomegali
F.
Faktor Resiko
Penyakit Atopik
Reaksi makanan
Konsumsi obat chymopapain (Ref.2)
Orang dengan pemberian intravena
G.
Patofisiologi (terlampir)
H.
Pemeriksaan penunjang
1.
RAST (Radio Allergo Sorbent Test)
atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test )
Pemeriksaan
yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik, namun memerlukan biaya yang mahal. Tes
ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini
memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut diproses
dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam.
Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-obatan.
Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-obatan.
2.
Skin Prick Test (Tes tusuk kulit)
Syarat tes ini :
•
Pasien harus dalam keadaan sehat dan
bebas obat yang mengandung antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari,
tergantung jenis obatnya.
•
Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.
3.
Skin Test (Tes kulit)
Tes ini
digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan. Dilakukan di
kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes. Hasil tes
yang positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas yang segera pada
individu tersebut, atau dengan kata lain pada epikutan individu tersebut
terdapat kompleks IgE mast.
4.
Patch Test (Tes Tempel)
Syarat tes ini :
•
Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat,
mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
•
2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau
anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan
timbul bentol, merah, gatal.
5.
Tes Provokasi
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang
diminum, makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi
untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk
penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang
dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya
serangan asma dan syok.
6.
Uji gores (scratch test)
Merupakan uji yang membawa resiko yang relatif rendah, namun
reaksi alergi sistemik telah dilaporkan. Tes ini dilakukan
diperkutan.
7.
Uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin
end-point titration/ SET)
Memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes
kulit cukit. SET (Skin End Point
Titration) merupakan pengembangan larutan tunggal dilakukan untuk alergen
inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat
mengetahui alergen penyebab, dapat juga menentukan derajat alergi serta dosis
awal untuk immunoterapi.Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan
dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji
intradermal (SET) akan lebih ideal.
8.
Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian
halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini
berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi.
9.
Pemeriksaan lain seperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula
darah, tes fungsi hati,tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi,
rontgen thorak, dan lain-lain.
I.
Penatalaksanaan farmakologis dan non
farmakologis
a.
Penatalaksanaan farmakologis
1. Adrenalin
Adrenalin termasuk golongan adrenergik yang akan meningkatkan konsentrasi
cAMP dalam mastosit sehingga terjadi hambatan degranulasi. Selain itu adrenalin
mempunyai manfaat terhadap sel sasaran, yaitu:
1. Perangsangan terhadap
pembuluh darah kulit, selaput lendir dan kelenjar liur.
2. Mengendurkan otot polos
usus, bronkhus dan pembuluh darah otot rangka.
3. Perangsangan jantung
dengan akibat peningkatan denyut jantung, kekuatan kontraksinya dan tekanan
darah.
4. Perangsangan
pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan.
Semua manfaat itu akan dapat mengurangi gejala-gejala reaksi anafilaktik.
Cara pemberiannya yaitu dengan memasukkan larutan adrenalin (epinefrin) 1/1000
dalam air sebanyak 0,01 ml/kgBB, maksimum 0,5 ml (larutan 1:1000), diberikan
secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha. Kalau anafilaksis
terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml (larutan
1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi antigen.
Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 15- 20 menit bila
diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespons
dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,1 ml/kgBB
dalam 10 ml NaCl fisiologik (larutan 1:10.000) secara intravena dengan
kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit.
2. Difenhidramin
Difenhidramin merupakan kelompok antihistamin yang bekerja menghambat
histamin yang dihasilkan oleh sel mastosit. Difenhidramin dapat diberikan
secara intravena (kecepatan lambat selama 5 – 10 menit), intramuskular atau
oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal, tergantung dari
beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa difenhidramin bukan merupakan
substitusi adrenalin. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap 6 jam selama
24 jam untuk mencegah reaksi berulang. Kalau penderita tidak memberikan respon
dengan tindakan di atas, jadi penderita masih tetap hipotensif atau tetap
dengan kesulitan bernapas, maka penderita perlu dirawat di unit perawatan
intensif dan pengobatan diteruskan dengan langkah berikut:
·
Cairan intravena
Untuk mengatasi syok dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa 5%
dengan perbandingan 1 : 4 selama 1-2 jam pertama atau sampai syok teratasi.
Bila syok sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan
berat badan.
3. Aminofilin
Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kgBB
yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling
sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20 menit).
Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus
dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena selama 20-30 menit
setiap 6 jam. Bila memungkinkan kadar aminofilin serum harus dimonitor.
4. Teofilin
Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai manfaat mengatasi reaksi
anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui sel mastosit dan sel sasarannya seperti
halnya adrenalin. Teofilin menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang akan
merusak cAMP, sehingga kadar cAMP akan meningkat akibatnya degranulasi mestosit
dihambat. Selain itu teofilin akan bekerja pada pusat pernafasan dan otot-otot
bronkhus, terlebih saat otot-otot brunkhus dalam keadaan kontraksi. Semua hal
itu akan mengurangi gejala-gejala reaksi anafilaktik.
5. Vasopresor
Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan
metaraminol bitartrat (Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan
tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia
jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi bila
diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain
seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg dalam 250 ml cairan intravena
dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan bersama
infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.
6. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak dipakai
pada penyakit radang dan penyakit imunologik. Walaupun pada beberapa binatang,
pemberiannya menimbulkan kerusakan pada jaringan limfoid, namun pada manusia
hal tersebut tidak terjadi. Kortikosteroid mempunyai efek menghambat radang,
disamping menghambat respon imun dan menstabilkan dinding sel mastosit. Dengan
menghambat respons imun dapat menghambat sintesis IgE.
Kortikosteroid tidak menolong pada pelaksanaan akut suatu reaksi
anafilaksis. Pada reaksi anafilaksis sedang dan berat kortikosteroid harus
diberikan. Kortikosteroid berguna untuk mencegah gejala yang lama. Mula-mula
diberikan hidrokortison intravena 7-10 mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5 mg/kgBB
setiap 6 jam dengan bolus infus. Pengobatan biasanya dapat dihentikan sesudah
2-3 hari.
Tabel obat-obatan yang
digunakan :
No
|
Nama obat
|
Indikasi
|
Kontraindikasi
|
1.
|
Pehacain
|
Anestesi
lokal
|
Inflamasi
lokal atau sepsis, septikemia, tirotoksikosis, hipersensitif terhadap
anastesi lokal tipe amida
|
2.
|
Phaminov
|
Untuk
meredakan dan mengatasi obstruksi saluran napas yang berhubungan dengan asma
bronkial dan penyakit paru kronik lain, seperti emfisema dan bronkitis kronis
|
Hipersensitivitas
terhadap derivat xantin
|
3.
|
Teosal
|
Bronkitis
asmatik, bronkitis akut atau kronis, emfisema pulmonar
|
Hipertiroid,
tirotoksikosis
|
4.
|
Hydrocortisone
|
Dermatitis
atopik, kontak, alergi; pruritus anogenital, neurodermatitis
|
Penyakit virus,
infeksi jamur dan bakteri pada kulit, akne, dermatitis perioral, laktasi
|
b.
Penatalaksanaan
non farmakologis
1. Evaluasi segera. Yang penting dievaluasi
adalah keadaan jalan napas dan jantung. Kalau pasien mengalami henti
jantung-paru harus dilakukan resusitasi kardiopulmoner.
2. Intubasi dan trakeostomi. Intubasi endotrakeal adalah pemasangan
selang melalui hidung atau mulut ke saluran pernafasan, sedangkan trakeostomi adalah pembuatan lubang
di trakea untuk membantu pernafasan. Intubasi atau trakeostomi perlu
dilakukan kalau terdapat sumbatan jalan napas bagian atas yang disebabkan oleh
edema.
3. Turniket. Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau
sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah
suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini
dilonggarkan selama 1-2 menit.
4. Oksigen. Oksigen harus diberikan kepada penderita penderita yang mengalami sianosis,
dispneu yang jelas atau penderita dengan mengi. Oksigen dengan aliran
sedang-tinggi (5-10 liter/menit) diberikan melalui masker atau kateter
hidung.
5. Terapi desentisasi. Berupa penyuntikan berulang alergen (yang dapat
mensentisasi pasien) dalam jumlah yang sangat kecil dapat mendorong pasien
membentuk antibodi IgG terhadap alergen. Antibodi ini dapat bekerja sebagai
antibody penghambat (blocking antibodies). Sewaktu pasien tersebut kembali
terpajan ke alergen , maka antibodi penghambat dapat berikatan dengan alergen
mendahului antibodi IgE. Karena pengikatan IgG tidak menyebabkan degranulasi
sel mast yang berlebihan, maka gejala alergi dapat dikurangi.
6. Terapi probiotik (preparat sel mikroba atau komponen mikroba yang dapat
mempertahankan kesehatan melalui kegiatan yang dilakukan dalam flora usus).
Salah satu pendekatan terbaru yang digunakan dalam penatalaksanaan alergi
makanan.
7. Diet. Dalam hal ini yaitu dengan membatasi mengkonsumsi makanan yang
menyebabkan alergen.
8. Pengobatan suportif. Sesudah keadaan stabil,
penderita harus tetap mendapat pengobatan suportif dengan obat dan cairan
selama diperlukan untuk membantu memperbaiki fungsi vital. Tergantung dari
beratnya reaksi, pengobatan suportif ini dapat diberikan beberapa jam sampai
beberapa hari.
Bila terjadi komplikasi syok anafilaktik, maka
tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
1.
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat
lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
2.
Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
A.
Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak
ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak
sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula
ke depan, dan buka mulut.
B.
Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda
bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi
jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas
parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas
dan oksigen. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui
intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
C.
Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau
a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Pencegahan
·
Menghindari alergen penyebab reaksi alergi
·
Bagi orang yang sensitif terhadap gigitan dan serangan serangga,
yang pernah mengalami reaksi terhadap makanan atau obat tertentu, dan yang
pernah mengalami reaksi anfilaktik akibat latihan fisik harus selalu membawa
kotak emerjensi yang berisi epinefrin (Epipen)
·
Anamnesa yang cermat mengenai riwayat setiap sensitivitas terhadap
antigen yang dicurigai sebelum memberikan obat apapun
·
Untuk mencegah anafilaksis akibat alergi obat, kadang sebelum obat
penyebab alergi diberikan, terlebih dahulu diberikan kortikosteroid,
antihistamin atau epineprin
·
Melakukan skin test bila perlu juga penting,
namun perlu diperhatikan bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat
mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita
tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan
mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif
·
Bagi pasien yang memiliki predisposisi untuk terjadinya reaksi
anafilaksis harus mengenakan alat identifikasi yang berkaitan dengan alergi
obat, seperti gelang Medic-Alert
·
Pasien yang alergi terhadap bisa serangga mungkin memerlukan
imunoterapi yang digunakan sebagai terapi pengendalian dan bukan penyembuhan
·
Dilakukan Desensitisasi (usaha mengurangkan atau
menghilangkan alergi thd suatu zat):
§ Serangan
serangga atau beberapa jenis binatang lain sudah dapat dicegah dengan cara
desensitisasi yang berupa penyuntikan berulang-ulang dari dosis rendah sampai
dianggap cukup dalam jangka waktu yang cukup lama
§ Pasien diabetes
yang alergi insulin dan sensitif terhadap penisilin memerlukan desensitisasi
§ Desensitisasi
alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang
·
Encerkan obat bila pemberian dengan SC/ID/IM/IV dan observasi
selama pemberian
Pendidikan kesehatan
·
Instruksikan kepada klien agar menghindari
makanan yang dapat menimbulkan alergi seperti kacang tanah, kacang kedelai, susu sapi,
telur, makanan laut apabila alergen terhadap makanan.
·
Instruksikan kepada klien agar menghindari alergen yang masuk akibat kontak langsung dengan permukaan kulit
dinamakan alergen kontaktan, misalnya serangga, ulat bulu, obat -obatan ,
kosmetik, minyak, apabila alergen terhadap
binatang
·
Menjaga kelembaban ruangan dengan mengatur sirkulasi angin dan
udara.
·
Menjaga kebersihan pakaian dan mengganti sprei sedikitnya seminggu
sekali
·
Beritahukan kepada klien untuk mengkompres air dingin ketika terasa
gatal
·
Menghindari penggunaan antibiotik (Penicillin) karena dapat
memicu sefalosporin lebih cepat dari antibiotik lainnya
·
Sarankan klien untuk melakukan
tes alergi
J.
Asuhan keperawatan
Anamnesa
a.
Identitas
Nama : Ny. L
Usia : 25 thn
Jenis kelamin : wanita
Suku/bangsa : jawa
Agama : Islam
Pendidikan : d3
Pekerjaan : ibu rumah
tangga
Alamat :
Tangerang Selatan
b.
Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama :
gatal yang tiba-tiba
2. Riwayat
kesehatan sekarang :
·
Ny. L mengeluh tiba-tiba terbangun di malam hari gatal-gatal
seperti di gigit semut seluruh tubuh sudah menggunakan minyak tawon tidak
menolang.
3. Riwayat
penyakit dahulu :
·
Tidak memiliki alergi terhadap apapun
·
Tidak pernah mengalami alergi apapun
4.
Riwayat pekerjaan/ kebiasaan :
·
Sehari-hari hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga
5. Pola Aktivitas
Sehari-hari :
·
Pola tidur klien terganggu karena gatal yyang tiba-tiba datang
c.
Pemeriksaan Fisik
1.
Keadaan umum dan tanda vital :
·
Baik
·
TD 110/70 mmHg, N: 82x/menit, RR: 16x/menit, T:36,5 C.
2.
kelopak mata bengkak, telinga dan seluruh bagian tubuh merah
3.
tekanan darah, pernapasan, suhu, nadi normal
4.
bunyi paru vaskuler
5.
jantung normal
Data Objektif
|
Data Subyektif
|
kelopak mata bengkak
Telinga dan seluruh
bagian tubuh merah
Tekanan darah, pernapasan, suhu, dan nadi normal
Bunyi paru vaskuler
Jantung normal
|
Ny. L
mengeluh tiba-tiba terbangun di
malam hari gatal-gatal seperti di gigit semut di seluruh tubuh.
|
Data tambahan:
Malaise,
lemah, rasa sakit Urtikaria, eritema, pucat, serak, Peningkatan peristaltik,
muntah, disfagia, mual, diare, dan gelisah.
Diagnosa keperawatan
- Ansietas
berhubungan dengan perubahan status kesehatan, gatal diseluruh tubuh.
- Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan reaksi alergi.
- Gangguan
pola tidur berhubungan dengan reaksi alergi.
- Risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan peningkatan
peristaltik usus.
- Risiko defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan output cairan
yang berlebih.
- Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan.
Problem
|
Etiologi
|
Symptom
|
Ansietas
|
b.d perubahan
status kesehatan, gatal diseluruh tubuh.
|
DS:
pasien mengatakan pasien tiba-tiba
terbangun di malam hari gatal-gatal seperti di gigit semut
DO:
pasien terlihat Gelisah,
pucat
|
Kerusakan integritas kulit
|
Inflamasi
|
DS:
·
Klien mengeluh gatal diseluruh tubuh
·
Klien mengeluh timbul bintil-bintil diseluruh tubuh
DO:
·
Telinga dan seluruh bagian tubuh merah.
·
Kelopak mata terlihat bengkak
Terlihat
bintil-bintil diseluruh tubuh
|
Gangguan pola tidur
|
b.d
reaksi alergi
|
DS: Tiba-tiba terbangun di malam hari gatal-gatal seperti di gigit semut.
DO: Urtikaria, gelisah
|
Risiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi.
|
b.d peningkatan peristaltik usus
|
DS: muntah, disfagia, mual, diare (2x)
DO: -
|
Risiko kekurangan volume cairan
|
b.d output cairan yang berlebih
|
DS: muntah,
diare (2x)
DO:-
|
Gangguan citra tubuh
|
b.d perubahan penampilan
|
DO: Edema kelopak mata
DS:-
|
K.
Tindakan keperawatan
Diagnosa
|
Tujuan/ KH
|
Intervensi
|
Rasional
|
Ansietas b.d
perubahan status kesehatan, gatal diseluruh tubuh.
|
Tujuan:
·
Ansietas berkurang setelah dilakukan intervensi selama 1x24 jam.
KH:
·
Klien merasa nyaman
·
Ansietas berkurang
·
Rasa gatal dan nyeri diseluruh tubuh berkurang
·
Klien mengetahui bagaimana cara mengurangi rasa cemas
|
Mandiri:
·
Bantu klien mengekspresikan perasan marah, kehilangan dan
ketakutan.
·
Kaji tanda verbal dan nonverbal didampingi klien dan lakukan
tindakan bila menunjukkan perilaku merusak.
·
Lakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan dan beri lingkungan
yang tenang serta suasana penuh istirahat.
·
Tingkatkan kontrol sensasi klien.
·
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang
diharapkan.
·
Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan kecemasannya.
|
·
Ansietas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung.
·
Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah.
·
Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
·
Memberikan informasi tentang keadaan klien.
·
Orientasi dapat menurunkan ansietas.
·
Mengurangi ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak
diekspresikan.
|
Kerusakan
integritas kulit b.d inflamasi ditandai dengan telinga dan seluruh bagian
tubuh merah.
|
Tujuan:
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan 1x24jam,gangguan integritas pada kulit mulai
berkurang
KH:
·
Mempertahankan integritas kulit.
·
Mengidentifikasi factor resiko dan menunjukan perilaku/ teknik
untuk mencegah kerusakan kulit.
|
Mandiri:
·
Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori
serta perubahan lainnya yang terjadi.
·
Pertahankan personal hygiene kulit, mis; membasuh kemudian
keringkan dengan hati-hati lakukan penggunaan lotion/ krim.
·
Gunting kuku secara teratur.
·
Ajari klien menghindari atau menurunkan paparan terhadap alergen
yang telah diketahui.
·
Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut.
Kolaborasi:
·
Rencanakan pemberian obat anti histamine
|
·
Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
·
mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi
barier infeksi. Pembasuhan kulit sebagai ganti menggaruk u/ menurunkan resiko
trauma dermal pada kulit.
·
Kuku yang panjang/ kasar dapat meningkatkan resiko kerusakan
dermal.
·
menghindari alergen akan menurunkan respon alergi
·
Menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju,
membiarkan kulit terbuka terhadap
udara menurunkan resiko infeksi.
·
Mengurangi rasa gatal dan membuat nyaman.
|
Gangguan pola tidur b.d reaksi alergi. Ditandai
dengan: Tiba-tiba terbangun
di malam hari gatal-gatal seperti di gigit semut. Urtikaria, gelisah
|
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam maka gangguan pola
tidur teratasi
KH:
pasien cukup
tidur
|
Mandiri
·
Bantu klien Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang
·
Atur posisi tidur senyaman mungkin
·
Kaji pola kebiasaan tidur klien
·
Instruksikan tindakan relaksasi
·
Hindari gangguan terhadap pasien bila mungkin
Kolaborasi
·
Penatalaksanaan pemberian obat sedative, hipnotik sesuai indikasi.
|
·
Lingkungan yang tenang dapat memberikan ketenangan untuk tidur
·
Membantu menginduksikan tidur
·
Mengidentifikasi intervensi yang tepat
·
Membantu menginduksi tidur klien
·
Tidur tanpa gangguan dapat menimbulkan rasa segar, dan pasien mungkin
tidak bisa tidur kembali bila telah terbangun.
·
Membantu/memudahkan pasien untuk memenuhi istirahat/tidurnya.
|
Daftar
Pustaka
Tjockronegoro,
Arjatmo. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 2 Edisi 3. Jakarta : Gaya Baru
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan
Medikal Bedah Vol.3. Jakarta : EGC
Marilynn, E. Doenges. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC
http://www.scribd.com/doc/60328222/anafilaksis
http://www.scribd.com/doc/59340036/makalah-ALERGI-8A#archive
diakses tgl 26 Des 2011 Jam 14.00 WIB
http://filzahazny.wordpress.com/2008/11/01/hipersensitivitas-2/ diakses tgl 19 Des 2011 jam 20:00 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar