Selasa, 01 Januari 2013

HIPERSENSITIVITAS


PEMBAHASAN
A.    Hipersensitivitas
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
Suatu reaksi hipersensitivitas biasanya tidak akan terjadi sesudah kontak pertama kali dengan sebuah antigen.reaksi terjadi pada kontak ulang sesudah seseorang yang memiliki predisposisi mengalami sensitisasi. Sensitisasi memulai respon humoral atau pembentukan antibodi. Untuk menambah pemahaman mengenai imunopatogenesis penyakit, reaksi hipersensitivitas telah diklasifikasikan oleh Gell dan Coombs menjadi 4 reaksi yang spesifik. Sebagian besar alergi dikenali sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I atau tipe IV

Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:

1.      Tipe I : Reaksi Anafilaksis
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.

2.      Tipe II : reaksi sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
1.      Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence.
2.      Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc.
3.      Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
-            Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
-           Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
-           Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

3.      Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil. Di kornea dapat berupa keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
1.      Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ yang diinfektif dan ginjal.
2.      Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
3.      Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah paru.

4.      Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis diskiformis

B.     Manifestasi klinis
Manisfestasi dan mekanisme reaksi hipersensitivitas
Tipe
Manisfestasi
Mekanisme
I
Reaksi hipersensitivitas cepat
Biasanya Ig E
II
Antibodi terhadap sel
Ig G dan Ig M
III
Kompleks antibodi-antigen
Ig G (terbanyak) atau Ig M
IV
Reaksi hipersensitivitas lambat
Sel T yang disensitisasi

Tanda gejala dan contoh klinis hipersensitivitas
Tipe I : anafilaksis
Tipe II : sitotoksik
Tipe III : imun kompleks
Tipe IV : tipe lambat
Tanda dan gejala
Contoh klinis
Tanda dan gejala
Contoh klinis
Tanda dan gejala
Contoh klinis
Tanda dan gejala
Contoh klinis
Sistemik :
1.Angioedema
2.Hipotensi
3.spasme bronkus, GI, atau uterus
4.stridor
lokal :
urtikaria
Asma ekstrinsik, rinitis alergik musiman, anafilaksis sistemik, reaksi terhadap serangga penyengat, reaksi terhadap ebberapa makanan dan obat, beberapa kasus urtikaria, ekzem infantilis
Bervariasi menurut jenis penyakit :
dispnea, hemoptisis, panas.
Sindrom goodpasture, anemia hemolitik autoimun, trombositopenia, pemfigus, pemfigoid, anemia pernisiosa, rejeksi cangkokan hiperakut pada transpalntasi ginjal, reaksi transfusi, kelainan hemolitik pada bayi baru lahir, beberapa reaksi obat
Urtikaria (ruam multiformis, skarlatiniformis, morbiliformis), adenopati, nyeri, sendi, panas (serum sickness)
Sistemik :
1.serum sickness akibat serum, obat atau antigen virus hepatitis
2.glomerulonefritis akut
3.sistemik lupus eritematosus
4.artritis rematoid
4.poliartritis
5.krioglobulinemia
lokal :
reaksi arthus
Bervariasi menurut jenis penyakitnya :
Panas, eritema, dan gatal- gatal
Dermatitis kontak, cangkokan versus resipien (graft versus host disease), rejeksi alograft, grauloma akibat mikroorganisme intraseluler, beberapa sensitivitas obat, tiroiditis hashimoto, tuberkulosis, sarkoiditis
Anafilaksis
Anafilaksis merupakan respons klinis terhadap reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe I) antara antigen yang spesifik dan antibodi. Reaksi tersebut terjadi akibat antibodi IgE dengan cara berikut :
1.      Antigen melekat pada antibodi IgE yang terikat dengan membran permukaan sel mast serta basofil dan menyebabkan sel-sel target ini diaktifkan.
2.      Sel mast dan basofil kemudian melepas mediator yang menyebabkan perubahan vaskuler,pengaktifan trombosit,eosinofil serta neutrofil dan pengaktifan rangkaian peristiwa koagulasi.
Reaksi anafilaktoid secara klinis serupa dengan anafilaksis. Namun, reaksi ini tidak diantarai oleh interaksi antigen-antibodi tetapi sebagai akibat dari substansi yang bekerja langsung pada sel-sel mast atau jaringan yang menyebabkan pelepasan mediator. Reaksi ini dapat terjadi pada penggunaan obat-obatan, konsumsi makanan, latihan fisik dan transfusi antibodi sitotoksik.
Tipe - Tipe reaksi anafilaktik :
Lokal : reaksi anafilaktik lokal biasanya meliputi ultikuria serta angioderma pada tempat kontak dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi jaraang fatal.
Sistemik : reaksi sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah kontak dalam sistem organ berikut ini : kardiovaskuler, respiratorius,gastrointestinal dan integumen.
C.    Etiologi
Terr menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan alergen lain yang tidak bisa di golongkan:
Allergen penyebab Anafilaksis
Makanan
Krustasea: Lobster, udang dan kepiting
Moluska  : kerang, Ikan
Kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, susu
Obat-obatan
Hormon  :  Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
 Enzim   : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase Vaksin dan Darah
Toxoid   : ATS, ADS, SABU Ekstrak alergen untuk uji kulit Dextran Antibiotika Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciprofloxacin,Amphotericin B, Nitrofurantoin.
Agent diagnostik-kontras Vitamin B1, Asam folat.
Agent anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat,  Diazepam, Phenitoin,  Protamine,  Aminopyrine, Acetil  cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan HCT
Serangga
Lebah madu,tawon,semut api
Lain-lain
Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid
Proses Penyakit
Oleh Coomb dan Gell (1963), anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipe segera (Immediate type reaction).
Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :
1.      Fase Sensitisasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresen-tasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
2.      Fase Aktivasi
Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah Preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly formed mediators.
3.  Fase Efektor
Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi, demikian juga dengan Leukotrien.
Secara ringkas, berbagai senyawa kemotaksis, vasoaktif, dan bronkospasme memerantai reaksi hipersensitivitas tipe 1.Beberapa senyawa ini dilepaskan secara cepat dari sel mast yang tersensitasi dan bertanggung jawab terhadap reaksi segera yang hebat yang berhubungan dengan kondisi seperti anafilaksis sistemik. Senyawa lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, termasuk rekrutmen sel radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya melepaskan mediator tambahan, tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel setempat.

D.    Manifestasi klinis
Tanda dan gejala utama pada reaksi anafilaktik dapat digolongkan menjadi reaksi sistemik yang ringan, sedang dan berat.
Ringan. Reaksi sistemik yang ringan terdiri dari rasa kesemutan serta hangat pada bagian perifer dan dapat disertai dengan perasaan penuh dalam mulut serta tenggorokan. Kongesti nasal, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin dan mata berair dapat terjadi. Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama sesudah kontak.
Sedang. Reaksi sistemik yang sedang dapat mencakup salah satu gejala diatas disamping gejala flushing, rasa hangat, cemas, dan gatal-gatal. Reaksi yang lebih serius berupa bronkospasme dan edema saluran pernafasan atau laring dengan dispnea, batuk serta mengi. Aawitan hgejala sama seperti reaksi yang ringan.
Berat. Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda-tanda serta gejala yang sama seperti diuraikan di atas dan berjalan dengan cepat hingga terjadi bronkospasme, edema laring, dispnea berat serta sianosis. Disfagia (kesulitan menelan), kram abdomen, vomitus, diare, dan serangan kejang-kejang dapat terjadi. Kadang-kadang timbul henti jantung.
E.     Komplikasi
·         Eritroderma eksfoliativa sekunder
Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh, biasanya disertai skuama (Arief Mansjoer , 2000 : 121)
Etiologi eritroderma eksfoliativa sekunder
-    Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya , sulfonamide , analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin.
-    Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat terjadi pada liken planus , psoriasis , pitiriasis rubra pilaris , pemflagus foliaseus , dermatitis seboroik dan dermatitis atopik.
-    Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.
(Arief Mansjoer , 2000 : 121 : Rusepno Hasan 2005 : 239)
·         Abses limfedenopati
Limfadenopati merujuk kepada ketidaknormalan kelenjar getah bening dalam ukuran, konsistensi ataupun jumlahnya. Limfadenopati dapat timbul setelah pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan lainnya seperti allupurinol, atenolol, captopril, carbamazepine, cefalosporin, emas, hidralazine, penicilin, pirimetamine, quinidine, sulfonamida, sulindac). Pembesaran karena obat umumnya seluruh tubuh (generalisata).
·         Furunkulosis
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan yangdisekitarnya, yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Apabila furunkelnya lebihdari satu maka disebut furunkolosis.
Faktor predisposisi:
-    Hygiene yang tidak baik
-    Diabetes mellitus
-    Kegemukan
-    Sindrom hiper IgE
-    Carier kronik S.aureus (hidung)
-    Gangguan kemotaktik
-    Ada penyakit yang mendasari, seperti HIV
-    Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi, ekscoriasi, scabies atau pedikulosis (adanya lesi pada kulit atau kulit utuh bisa juga karena garukan atau sering bergesekan)
·         Rinitis
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatumediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,1986).
·         Stomatitis
Stomatitis Aphtous Reccurent atau yang di kalangan awam disebut sariawan adalah luka yang terbatas pada jaringan lunak rongga mulut. Hingga kini, penyebab dari sariawan ini belum dipastikan, tetapi ada faktor-faktor yang diduga kuat menjadi pemicu atau pencetusnya. Beberapa diantaranya adalah:
-          Trauma pada jaringan lunak mulut (selain gigi), misal tergigit, atau ada gigi yang posisinya di luar lengkung rahang yang normal sehingga menyebabkan jaringan lunak selalu tergesek/tergigit pada saat makan/mengunyah
-          Kekurangan nutrisi,terutama vitamin B12, asam folat dan zat besi.
-          Stress
-          Gangguan hormonal, seperti pada saat wanita akan memasuki masa menstruasi di mana terjadi perubahan hormonal sehingga lebih rentan terhadap iritasi
-          Gangguan autoimun / kekebalan tubuh, pada beberapa kasus penderita memiliki respon imun yang abnormal terhadap jaringan mukosanya sendiri.
-          Penggunaan gigi tiruan yang tidak pas atau ada bagian dari gigi tiruan yang mengiritasi jaringan lunak
-          Pada beberapa orang, sariawan dapat disebabkan karena hipersensitivitas terhadap rangsangan antigenik tertentu terutama makanan.
·         KonjungtivitisChoose the language in which you want to experience Scribd:
Konjungtivitis adalah radang atau infeksi pada konjungtiva dimana batasnya dari kelopak mata hingga sebagian bola mata.
Etiologi:
-          Infeksi oleh virus
-          Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
-          Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi lainnya
-          Kelainan saluran air mata, dll.
·         Kolitis Bronkolitis
·         Hepatomegali
F.     Faktor Resiko
*      Penyakit Atopik
*      Reaksi makanan
*      Konsumsi obat chymopapain (Ref.2)
*      Orang dengan pemberian intravena
G.    Patofisiologi (terlampir)
H.    Pemeriksaan penunjang
1.      RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test )
Pemeriksaan yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik, namun memerlukan biaya yang mahal. Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam.
Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-obatan.
2.      Skin Prick Test (Tes tusuk kulit)
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya  debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol merah gatal.
Syarat tes ini :
         Pasien harus dalam  keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.
         Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.
3.      Skin Test (Tes kulit)
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan. Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas yang segera pada individu tersebut, atau dengan kata lain pada epikutan individu tersebut terdapat kompleks IgE mast.
4.      Patch Test (Tes Tempel)
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
         Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat, mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
         2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul bentol, merah, gatal.
5.      Tes Provokasi
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum, makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan syok.
6.      Uji gores (scratch test)
Merupakan uji yang membawa resiko yang relatif rendah, namun reaksi alergi sistemik telah dilaporkan. Tes ini dilakukan diperkutan.
7.      Uji intrakutan atau  intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/ SET)
Memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes kulit cukit. SET (Skin End Point Titration) merupakan pengembangan larutan tunggal dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, dapat juga menentukan derajat alergi serta dosis awal untuk immunoterapi.Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal.
8.      Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.
9.      Pemeriksaan lain seperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati,tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.
I.       Penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis
a.      Penatalaksanaan farmakologis
1.    Adrenalin
Adrenalin termasuk golongan adrenergik yang akan meningkatkan konsentrasi cAMP dalam mastosit sehingga terjadi hambatan degranulasi. Selain itu adrenalin mempunyai manfaat terhadap sel sasaran, yaitu:
1.      Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan kelenjar liur.
2.      Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan pembuluh darah otot rangka.
3.      Perangsangan jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung, kekuatan kontraksinya dan tekanan darah.
4.      Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan.
Semua manfaat itu akan dapat mengurangi gejala-gejala reaksi anafilaktik. Cara pemberiannya yaitu dengan memasukkan larutan adrenalin (epinefrin) 1/1000 dalam air sebanyak 0,01 ml/kgBB, maksimum 0,5 ml (larutan 1:1000), diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha. Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 15- 20 menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespons dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,1 ml/kgBB  dalam 10 ml NaCl fisiologik (larutan 1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit.
2.    Difenhidramin
Difenhidramin merupakan kelompok antihistamin yang bekerja menghambat histamin yang dihasilkan oleh sel mastosit. Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat selama 5 – 10 menit), intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal, tergantung dari beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa difenhidramin bukan merupakan substitusi adrenalin. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang. Kalau penderita tidak memberikan respon dengan tindakan di atas, jadi penderita masih tetap hipotensif atau tetap dengan kesulitan bernapas, maka penderita perlu dirawat di unit perawatan intensif dan pengobatan diteruskan dengan langkah berikut:
·         Cairan intravena
Untuk mengatasi syok dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa 5% dengan perbandingan 1 : 4 selama 1-2 jam pertama atau sampai syok teratasi. Bila syok sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat badan.
3.    Aminofilin
Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila memungkinkan kadar aminofilin serum harus dimonitor.
4.    Teofilin
Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai manfaat mengatasi reaksi anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui sel mastosit dan sel sasarannya seperti halnya adrenalin. Teofilin menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang akan merusak cAMP, sehingga kadar cAMP akan meningkat akibatnya degranulasi mestosit dihambat. Selain itu teofilin akan bekerja pada pusat pernafasan dan otot-otot bronkhus, terlebih saat otot-otot brunkhus dalam keadaan kontraksi. Semua hal itu akan mengurangi gejala-gejala reaksi anafilaktik.
5.    Vasopresor
Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan metaraminol bitartrat (Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi bila diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg dalam 250 ml cairan intravena dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan bersama infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.
6.    Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak dipakai pada penyakit radang dan penyakit imunologik. Walaupun pada beberapa binatang, pemberiannya menimbulkan kerusakan pada jaringan limfoid, namun pada manusia hal tersebut tidak terjadi. Kortikosteroid mempunyai efek menghambat radang, disamping menghambat respon imun dan menstabilkan dinding sel mastosit. Dengan menghambat respons imun dapat menghambat sintesis IgE.
Kortikosteroid tidak menolong pada pelaksanaan akut suatu reaksi anafilaksis. Pada reaksi anafilaksis sedang dan berat kortikosteroid harus diberikan. Kortikosteroid berguna untuk mencegah gejala yang lama. Mula-mula diberikan hidrokortison intravena 7-10 mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam dengan bolus infus. Pengobatan biasanya dapat dihentikan sesudah 2-3 hari.
Tabel obat-obatan yang digunakan :
No
Nama obat
Indikasi
Kontraindikasi
1.
Pehacain
Anestesi lokal
Inflamasi lokal atau sepsis, septikemia, tirotoksikosis, hipersensitif terhadap anastesi lokal tipe amida
2.
Phaminov
Untuk meredakan dan mengatasi obstruksi saluran napas yang berhubungan dengan asma bronkial dan penyakit paru kronik lain, seperti emfisema dan bronkitis kronis
Hipersensitivitas terhadap derivat xantin
3.
Teosal
Bronkitis asmatik, bronkitis akut atau kronis, emfisema pulmonar
Hipertiroid, tirotoksikosis
4.
Hydrocortisone
Dermatitis atopik, kontak, alergi; pruritus anogenital, neurodermatitis
Penyakit virus, infeksi jamur dan bakteri pada kulit, akne, dermatitis perioral, laktasi
b.      Penatalaksanaan non farmakologis
1.      Evaluasi segera. Yang penting dievaluasi adalah keadaan jalan napas dan jantung. Kalau pasien mengalami henti jantung-paru harus dilakukan resusitasi kardiopulmoner.
2.      Intubasi dan trakeostomi. Intubasi endotrakeal adalah pemasangan selang melalui hidung atau mulut ke saluran pernafasan, sedangkan trakeostomi adalah pembuatan lubang di trakea untuk membantu pernafasan. Intubasi atau trakeostomi perlu dilakukan kalau terdapat sumbatan jalan napas bagian atas yang disebabkan oleh edema.
3.      Turniket. Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan selama 1-2 menit.
4.      Oksigen. Oksigen harus diberikan kepada penderita penderita yang mengalami sianosis, dispneu yang jelas atau penderita dengan mengi. Oksigen dengan aliran sedang-tinggi (5-10 liter/menit) diberikan melalui masker atau kateter hidung. 
5.      Terapi desentisasi. Berupa penyuntikan berulang alergen (yang dapat mensentisasi pasien) dalam jumlah yang sangat kecil dapat mendorong pasien membentuk antibodi IgG terhadap alergen. Antibodi ini dapat bekerja sebagai antibody penghambat (blocking antibodies). Sewaktu pasien tersebut kembali terpajan ke alergen , maka antibodi penghambat dapat berikatan dengan alergen mendahului antibodi IgE. Karena pengikatan IgG tidak menyebabkan degranulasi sel mast yang berlebihan, maka gejala alergi dapat dikurangi.
6.      Terapi probiotik (preparat sel mikroba atau komponen mikroba yang dapat mempertahankan kesehatan melalui kegiatan yang dilakukan dalam flora usus). Salah satu pendekatan terbaru yang digunakan dalam penatalaksanaan alergi makanan.
7.      Diet. Dalam hal ini yaitu dengan membatasi mengkonsumsi makanan yang menyebabkan alergen.
8.      Pengobatan suportif. Sesudah keadaan stabil, penderita harus tetap mendapat pengobatan suportif dengan obat dan cairan selama diperlukan untuk membantu memperbaiki fungsi vital. Tergantung dari beratnya reaksi, pengobatan suportif ini dapat diberikan beberapa jam sampai beberapa hari.
Bila terjadi komplikasi syok anafilaktik, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
1.      Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
2.      Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
A.    Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
B.     Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
C.     Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Pencegahan
·      Menghindari alergen penyebab reaksi alergi
·      Bagi orang yang sensitif terhadap gigitan dan serangan serangga, yang pernah mengalami reaksi terhadap makanan atau obat tertentu, dan yang pernah mengalami reaksi anfilaktik akibat latihan fisik harus selalu membawa kotak emerjensi yang berisi epinefrin (Epipen)
·      Anamnesa yang cermat mengenai riwayat setiap sensitivitas terhadap antigen yang dicurigai sebelum memberikan obat apapun
·      Untuk mencegah anafilaksis akibat alergi obat, kadang sebelum obat penyebab alergi diberikan, terlebih dahulu diberikan kortikosteroid, antihistamin atau epineprin
·      Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatikan bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif
·      Bagi pasien yang memiliki predisposisi untuk terjadinya reaksi anafilaksis harus mengenakan alat identifikasi yang berkaitan dengan alergi obat, seperti gelang Medic-Alert
·      Pasien yang alergi terhadap bisa serangga mungkin memerlukan imunoterapi yang digunakan sebagai terapi pengendalian dan bukan penyembuhan
·       Dilakukan Desensitisasi (usaha mengurangkan atau menghilangkan alergi thd suatu zat):
§  Serangan serangga atau beberapa jenis binatang lain sudah dapat dicegah dengan cara desensitisasi yang berupa penyuntikan berulang-ulang dari dosis rendah sampai dianggap cukup dalam jangka waktu yang cukup lama
§  Pasien diabetes yang alergi insulin dan sensitif terhadap penisilin memerlukan desensitisasi
§  Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang
·      Encerkan obat bila pemberian dengan SC/ID/IM/IV dan observasi selama pemberian
Pendidikan kesehatan
·         Instruksikan kepada klien agar menghindari makanan yang dapat menimbulkan alergi seperti kacang tanah, kacang kedelai, susu sapi, telur, makanan laut apabila alergen terhadap makanan.
·         Instruksikan kepada klien agar menghindari alergen yang masuk akibat kontak langsung dengan permukaan kulit dinamakan alergen kontaktan, misalnya serangga, ulat bulu, obat -obatan , kosmetik, minyak, apabila alergen terhadap binatang
·         Menjaga kelembaban ruangan dengan mengatur sirkulasi angin dan udara.
·         Menjaga kebersihan pakaian dan mengganti sprei sedikitnya seminggu sekali
·         Beritahukan kepada klien untuk mengkompres air dingin ketika terasa gatal
·         Menghindari penggunaan antibiotik (Penicillin) karena dapat memicu sefalosporin lebih cepat dari antibiotik lainnya
·         Sarankan klien untuk melakukan  tes alergi
           
J.      Asuhan keperawatan
Anamnesa
a.      Identitas
Nama               : Ny. L
Usia                 : 25 thn
Jenis kelamin   : wanita
Suku/bangsa    : jawa
Agama             : Islam
Pendidikan      : d3
Pekerjaan         : ibu rumah tangga
Alamat                        : Tangerang Selatan

b.      Riwayat Kesehatan
1.      Keluhan utama : gatal yang tiba-tiba
2.      Riwayat kesehatan sekarang :
·         Ny. L mengeluh tiba-tiba terbangun di malam hari gatal-gatal seperti di gigit semut seluruh tubuh sudah menggunakan minyak tawon tidak menolang.
3.      Riwayat penyakit dahulu :
·         Tidak memiliki alergi terhadap apapun
·         Tidak pernah mengalami alergi apapun
4.      Riwayat pekerjaan/ kebiasaan :
·         Sehari-hari hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga
5.      Pola Aktivitas Sehari-hari :
·         Pola tidur klien terganggu karena gatal yyang tiba-tiba datang                    
c.        Pemeriksaan Fisik
1.      Keadaan umum dan tanda vital :
·         Baik
·         TD 110/70 mmHg, N: 82x/menit, RR: 16x/menit, T:36,5 C.
2.      kelopak mata bengkak, telinga dan seluruh bagian tubuh merah
3.      tekanan darah, pernapasan, suhu, nadi normal
4.      bunyi paru vaskuler
5.      jantung normal
Data Objektif
Data Subyektif
kelopak mata bengkak
Telinga dan seluruh bagian tubuh merah
Tekanan darah, pernapasan, suhu, dan nadi normal
Bunyi paru vaskuler
Jantung normal
Ny. L mengeluh tiba-tiba terbangun di malam hari gatal-gatal seperti di gigit semut di seluruh tubuh.
Data tambahan:
Malaise, lemah, rasa sakit Urtikaria, eritema, pucat, serak, Peningkatan peristaltik, muntah, disfagia, mual, diare, dan gelisah.
Diagnosa keperawatan
  1. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan, gatal diseluruh tubuh.
  2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan reaksi alergi.
  3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan reaksi alergi.
  4. Risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan peningkatan peristaltik usus.
  5. Risiko defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan output cairan yang berlebih.
  6. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan.
Problem
Etiologi
Symptom
Ansietas
b.d perubahan status kesehatan, gatal diseluruh tubuh.

DS: pasien mengatakan pasien tiba-tiba terbangun di malam hari gatal-gatal seperti di gigit semut
DO: pasien terlihat Gelisah, pucat
Kerusakan integritas kulit
Inflamasi
DS:
·         Klien mengeluh gatal diseluruh tubuh
·         Klien mengeluh timbul bintil-bintil diseluruh tubuh
DO:
·         Telinga dan seluruh bagian tubuh merah.
·         Kelopak mata terlihat bengkak
Terlihat bintil-bintil diseluruh tubuh
Gangguan pola tidur

b.d reaksi alergi
DS: Tiba-tiba terbangun di malam hari gatal-gatal seperti di gigit semut.
DO: Urtikaria, gelisah
Risiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi.
b.d peningkatan peristaltik usus
DS: muntah, disfagia, mual, diare (2x)
DO: -
Risiko kekurangan volume cairan
b.d output cairan yang berlebih
DS: muntah,  diare (2x)
DO:-
Gangguan citra tubuh
b.d perubahan penampilan
DO: Edema kelopak mata
DS:-

K.    Tindakan keperawatan
Diagnosa
Tujuan/ KH
Intervensi
Rasional
Ansietas b.d perubahan status kesehatan, gatal diseluruh tubuh.
Tujuan:
·         Ansietas berkurang setelah dilakukan intervensi selama 1x24 jam.

KH:
·         Klien merasa nyaman
·         Ansietas berkurang
·         Rasa gatal dan nyeri diseluruh tubuh berkurang
·         Klien mengetahui bagaimana cara mengurangi rasa cemas

Mandiri:
·         Bantu klien mengekspresikan perasan marah, kehilangan dan ketakutan.
·         Kaji tanda verbal dan nonverbal didampingi klien dan lakukan tindakan bila menunjukkan perilaku merusak.
·         Lakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan dan beri lingkungan yang tenang serta suasana penuh istirahat.
·         Tingkatkan kontrol sensasi klien.
·         Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.
·         Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan kecemasannya.

·         Ansietas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung.

·         Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah.



·         Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.



·         Memberikan informasi tentang keadaan klien.
·         Orientasi dapat menurunkan ansietas.


·         Mengurangi ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
Kerusakan integritas kulit b.d inflamasi ditandai dengan telinga dan seluruh bagian tubuh merah.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24jam,gangguan integritas pada kulit mulai berkurang
KH:
·         Mempertahankan integritas kulit.
·         Mengidentifikasi factor resiko dan menunjukan perilaku/ teknik untuk mencegah kerusakan kulit.
Mandiri:
·         Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi.
·         Pertahankan personal hygiene kulit, mis; membasuh kemudian keringkan dengan hati-hati lakukan penggunaan lotion/ krim.

·         Gunting kuku secara teratur.

·         Ajari klien menghindari atau menurunkan paparan terhadap alergen yang telah diketahui.
·         Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut.


Kolaborasi:
·         Rencanakan pemberian obat anti histamine
·         Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
·         mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi. Pembasuhan kulit sebagai ganti menggaruk u/ menurunkan resiko trauma dermal pada kulit.
·         Kuku yang panjang/ kasar dapat meningkatkan resiko kerusakan dermal.
·         menghindari alergen akan menurunkan respon alergi


·         Menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan kulit  terbuka terhadap udara menurunkan resiko infeksi.

·         Mengurangi rasa gatal dan membuat nyaman.
Gangguan pola tidur b.d reaksi alergi. Ditandai dengan: Tiba-tiba terbangun di malam hari gatal-gatal seperti di gigit semut. Urtikaria, gelisah

Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam maka gangguan pola tidur teratasi
KH:
pasien cukup tidur
Mandiri
·         Bantu klien Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang

·         Atur posisi tidur senyaman mungkin


·         Kaji pola kebiasaan tidur klien


·         Instruksikan tindakan relaksasi


·         Hindari gangguan terhadap pasien bila mungkin

Kolaborasi
·         Penatalaksanaan pemberian obat sedative, hipnotik sesuai indikasi.


·         Lingkungan yang tenang dapat memberikan ketenangan untuk tidur

·         Membantu menginduksikan tidur


·         Mengidentifikasi intervensi yang tepat


·         Membantu menginduksi tidur klien

·         Tidur tanpa gangguan dapat menimbulkan rasa segar, dan pasien mungkin tidak bisa tidur kembali bila telah terbangun.

·         Membantu/memudahkan pasien untuk memenuhi istirahat/tidurnya.

Daftar Pustaka
Tjockronegoro, Arjatmo. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 3. Jakarta : Gaya Baru
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Vol.3. Jakarta : EGC
Marilynn, E. Doenges. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan  Edisi 3. Jakarta : EGC
http://www.scribd.com/doc/60328222/anafilaksis
http://www.scribd.com/doc/59340036/makalah-ALERGI-8A#archive  diakses tgl 26 Des 2011 Jam 14.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar