Selasa, 03 Januari 2017

LAPORAN PENDAHULUAN CHF

LAPORAN PENDAHULUAN 
A.      Pengertian
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan (Mansjoer, 2001).
Gagal jantung kongestif adalah kegagalan ventrikel kiri dan atau kanan dari jantung yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk memberikan cardiac output yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan, menyebabkan terjadinya kongesti pulmonal dan sistemik (Pangastuti, 2009).
B.       Etiologi
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :
1.      Penyakit Jantung Koroner
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi ventrikel kiri. Lebih dari 36% pasiendengan penyakit jantung koroner selama 7-8 tahun akan menderita penyakit gagal jantung kongestif (Hellerman, 2003). Pada negara maju, sekitar 60-75% pasien penyakit jantung koroner menderita gagal jantung kongestif (Mann, 2008). Bahkan dua per tiga pasien yang mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner (Doughty dan White, 2007).
2.      Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi terjadinya gagal jantung (Riaz, 2012). Berdasarkan studi Framingham dalam Cowie tahun 2008 didapati bahwa 91% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi. Studi terbaru Waty tahun 2012 di Rumah Sakit Haji Adam Malik menyebutkan bahwa 66.5% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi. Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya akan berujung pada gagal jantung kongestif (Lip dkk, 2000).


3.      Cardiomiopathy
Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan kongenital. Cardiomiopathyterdiri dari beberapa  jenis. Diantaranya ialah dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis (Lip dkk, 2000).
Hipertrophic cardiomiopathymerupakan salah satu jenis cardiomiopathyyang bersifat herediter autosomal dominan. Karakteristik dari jenis ini ialah abnormalitas pada serabut otot miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga menyebabkan hipertrofi septum. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta (aortic outflow). Kondisi ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk, peningkatan tekanan diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel (Scoote dkk, 2005).
Jenis lain yaitu  Restrictive and obliterative cardiomiopathy. Karakteristik dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan komplians yang buruk, tidak ditemukan adanya pembesaran dari jantung. Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi saat diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari normal. Kondisi yang dapat menyebabkan keadaan ini ialah Amiloidosis, Sarcoidosis,  Hemokromasitomatosis dan penyakit resktriktif lainnya (Scoote dkk, 2005).
4.      Kelainan Katup Jantung
Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering menyebabkan gagal jantung kongestif ialah Regurgitasi Mitral. Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan volume di jantung. Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi ke seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama menyebabkan gagal jantung kongestif (Lip dkk, 2000).
5.      Aritmia
Artial Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi. 31% dari pasien gagal jantung ditemukan gejala awal berupa atrial fibrilasi dan ditemukan 60% pasien gagal jantung memiliki gejala atrial fibrilasi setelah dilakukan pemeriksaan echocardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung tetapi juga memperparah prognosis dengan meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Cowie et.al., 1998).
6.      Alkohol dan Obat-obatan
Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan atrial fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka panjang menyebabkan dilated cardiomiopathy. Didapati 2-3% kasus gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh konsumsi alkohol jangka panjang. Sementara itu beberapa obat yang memiliki efek toksik terhadap miokardium diantaranya ialah agen kemoterapi seperti doxorubicin dan zidovudine yang merupakan antiviral (Cowie, 2008).
7.      Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada wanita belum ada fakta yang konsisten (Lip dkk, 2000). Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas dan kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme perubahan struktur dan fungsi dari miokardium. Selain itu, obesitas menyebabkan peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab utama dari gagal jantung kongestif. Berdasarkan studi Framingham disebutkan bahwa diabetes merupakan faktor resiko yang untuk kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang berujung pada gagal jantung (Lip dkk, 2000).
Main cause
·         Ischemic heart disease (35-40%)
·         Cardiomiopathy expecially dilated (30-34%)
·         Hypertension (15-20%)
Other Cause
o   Cardiomyopathy undilated: Hyperttrophy/obstructive, restrictive (amyloidosis, sarcoidosis)
o   Valvular heart disease (mitral, aortic, tricuspid)
o   Congenital heart disease (ASD,VSD)
o   Alcohol and drugs (chemotherapy-trastuzamab, imatinib)
o   Hyperdinamic circulation (anemia, thyrotoxicosis, haemochromatosis)
o   Right Heart failure (RV infarct,pulmonary hypertension, pulmonary embolism, COPD
o   Tricuspid incompetence
o   Arrhythmia (AF, Bradycardia (complete heart block, the sick sinus syndrome))
o   Pericardial disease (constrictive pericarditis, pericardial effusion)
o   Infection (Chagas’ disease)
Sumber: Kumar dkk, 2009. Cardiovascular disease. In : Clinical Medicine Ed 7th
C.      Patogenesis
Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter seperti  cardiomiopathy. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan kapasitas pompa jantung. Namun, pada awal penyakit, pasien masih menunjukkan asimptomatis ataupun gejala simptomatis yang minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh yang disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri (Mann, 2010).
Beberapa mekanisme yang terlibatdiantaranya: (1) Aktivasi Renin Angiotensin Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2) peningkatan kontraksi miokardium. Sistem ini menjaga agar cardiac outputtetap normal dengan cara retensi cairan dan garam. Ketika terjadi penurunan cardiac output maka akan terjadi perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus dan arkus aorta, kemudian memberi sinyal aferen ke sistem syaraf sentral di cardioregulatory centeryang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik Hormon (ADH) dari hipofisis posterior. ADH akan meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus sehingga reabsorbsi air meningkat (Mann, 2008). Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis yang menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot skeletal. Stimulasi simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi renin. Peningkatan renin meningkatkan kadar angiotensin II dan aldosteron. Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan dan garam melalui vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Mekanisme kompensasi neurohormonal ini berkontribusi dalam perubahan fungsional dan struktural jantung serta retensi cairan dan garam pada gagal jantung kongestif yang lebih lanjut (Mann, 2008).
D.      Patofisiologi
CHF terjadi karena interaksi kompleks antara faktor-faktor yang memengaruhi kontraktilitas, after load, preload, atau fungsi lusitropik (fungsi relaksasi) jantung, dan respons neurohormonal dan hemodinamik yang diperlukan untuk menciptakan kompensasi sirkulasi. Meskipun konsekuensi hemodinamik gagal jantung berespons terhadap intervensi farmakologis standar, terdapat interaksi neurohormonal kritis yang efek gabungannya memperberat dan memperlama sindrom yang ada.
Sistem renin angiotensin aldosteron (RAA): Selain untuk meningkatkan tahanan perifer dan volume darah sirkulasi, angiotensin dan aldosteron berimplikasi pada perubahan struktural miokardium yang terlihat pada cedera iskemik dan kardiomiopati hipertropik hipertensif. Perubahan ini meliputi remodeling miokard dan kematian sarkomer, kehilangan matriks kolagen normal, dan fibrosis interstisial. Terjadinya miosit dan sarkomer yang tidak dapat mentransmisikan kekuatannya, dilatasi jantung, dan pembentukan jaringan parut dengan kehilangan komplians miokard normal turut memberikan gambaran hemodinamik dan simtomatik pada CHF.
Sistem saraf simpatis (SNS): Epinefrin dan norepinefrin menyebabkan peningkatan tahanan perifer dengan peningkatan kerja jantung, takikardia, peningkatan konsumsi oksigen oleh miokardium, dan peningkatan risiko aritmia. Katekolamin juga turut menyebabkan remodeling ventrikel melalui toksisitas langsung terhadap miosit, induksi apoptosis miosit, dan peningkatan respons autoimun. Vasodilator endogen, seperti endotelin dan oksida nitrat, peptida jantung, dan peptida natriuretik: Perannya dalam CHF sedang diselidiki dan intervensinya sedang diuji.
Sitokin imun dan inflamasi: Faktor nekrosis tumor alfa (TNFa) dan interleukin 6 (IL-6) menyebabkan remodeling ventrikel dengan apoptosis miosit, dilatasi ventrikel, dan penurunan kontraktilitas. Lebih lanjut, mereka juga berperan dalam efek sistemik seperti penurunan berat badan dan kelemahan yang terlihat pada CHF brat (kakheksia jantung). Kejadian etiologi awal memengaruhi respons awal miokardium, tetapi seiring dengan perkembangan sindrom, mekanisme umum mulai muncul sehingga pasien CHF lanjut memperlihatkan gejala dan respons yang sama terhadap intervensi farmakologis yang sama apapun penyebab awal CHF-nya. Meskipun banyak pasien mengalami disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik, kategori ini sebaiknya dianggap sebagai hal yang berbeda untuk dapat memahami efeknya terhadap homeostasis sirkulasi dan responsnya terhadap berbagai intervensi.
Disfungsi ventrikel kiri sistolik
1.      Penurunan curah jantung akibat penurunan kontraktilitas, peningkatan afterload, atau peningkatan preload yang mengakibatkan penurunan fraksi ejeksi dan peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDV). Ini meningkatkan tekanan akhir diastolik pada ventrikel kiri (I-VEDP) dan menyebabkan kongesti vena pulmonal dan edema paru.
2.      Penurunan kontraktilitas (inotropi) terjadi akibat fungsi miokard yang tidak adekuat atau tidak terkoordinasi schingga ventrikel kiri tidak dapat melakukan ejeksi lebih dari 60% dari volume akhir diastoliknya (LVEDV). lni menyebabkan peningkatan bertahap LVEDV (juga dinamakan preload) mengakibatkan peningkatan LVEDP dan kongesti vena pulmonalis. Penyebab penurunan kontraktilitas yang tersering adalah penyakit jantung iskemik, yang tidak hanya mengakibatkan nekrosis jaringan miokard sesungguhnya, tetapi juga menyebabkan remodeling ventrikel iskemik. Remodeling iskemik adalah sebuah proses yang sebagian dimediasi oleh angiotensin II (ANG II) yang menyebabkan jaringan parut dan disfungsi sarkomer di jantung sekitar daerah cedera iskemik. Aritmia jantung dan kardiomiopati primer seperti yang disebabkan olch alkohol, infeksi, hemakromatosis, hipertiroidisme, toksisitas obat dan amiloidosis juga menyebabkan penurunan kontraktilitas. Penurunan curah jantung mengakibatkan kekurangan perfusi pada sirkulasi sistemik dan aktivasi sistem saraf simpatis dan sistem RAA, menyebabkan peningkatan tahanan perifer dan peningkatan afterload.
3.      Peningkatan afterload berarti terdapat peningkatan tahanan terhadap ejeksi LV. Biasanya disebabkan oleh peningkatan tahanan vaskular perifer yang umum terlihat pada hipertensi. Bisa juga diakibatkan oleh stenosis katup aorta. Ventrikel kiri berespon terhadap peningkatan beban kerja ini dengan hipertrofi miokard, suatu respons yang meningkatkan massa otot ventrikel kiri tetapi pada saat yang sama meningkatkan kebutuhan perfusi koroner pada ventrikel kiri. Suatu keadaan kelaparan energi tercipta sehingga berpadu dengan ANG II dan respons neuroendokrin lain, menyebabkan perubahan buruk dalam miosit seperti semakin sedikitnya mitokondria untuk produksi energi, perubahan ekspresi gen dengan produksi protein kontraktil yang abnormal (aktin, miosin, dan tropomiosin), fibrosis interstisial, dan penurunan daya tahan hidup miosit. Dengan berjalannya waktu, kontraktilitas mulai menurun dengan penurunan curah jantung dan fraksi ejeksi, peningkatan LVEDV, dan kongesti paru.
4.      Peningkatan preload berarti peningkatan LVEDV, yang dapat disebabkan langsung oleh kelebihan volume intravaskular sama seperti yang terlihat pada infus cairan intra vena atau gagal ginjal. Selain itu, penurunan fraksi ejeksi yang disebabkan oleh perubahan kontraktilitas atau afterload menyebabkan peningkatan LVEDV sehingga meningkatkan preload. Pada saat LVEDV meningkat, ia akan meregangkan jantung, menjadikansarkomer berada pada posisi mekanis yang tidak menguntungkan sehingga terjadi penurunan kontraktilitas. Penurunan kontraktilitas ini, yang menyebabkan penurunan fraksi ejeksi, menyebabkan peningkatan LVEDV yang lebih lanjut, sehingga menciptakan lingkaran setan perburukan gagal jantung.
Disfungsi ventrikel kiri diastolik
1.      Penyebab dari 90% kasus
2.      Didefinisikan sebagai kondisi dengan temuan klasik gagal kongestif dengan fungsi diastolik abnormal tetapi fungsi sistolik normal; disfungsi diastolik mumi akan dicirikan dengan tahanan terhadap pengisian ventrikel dengan peningkatan LVEDP tanpa peningkatan LVEDV atau penurunan curah jantung.
3.      Tahanan terhadap pengisian ventrikel kiri terjadi akibat relaksasi abnormal (lusitropik) ventrikel kiri dan dapat disebabkan oleh setiap kondisi yang membuat kaku miokard ventrikel seperti penyakit jantung iskemik yang menyebabkan jaringan parut, hipertensi yang mengakibatkan kardiomiopati hipertrofi, kardiomiopati restriktif, penyakit katup atau penyakit perikardium.
4.      Peningkatan denyut jantung menyebabkan waktu pengisian diastolik menjadi berkurang dan memperberat gejala disfungsi diastolik. Oleh karena itu, intoleransi terhadap olahraga sudah menjadi umum.
5.      Karena penanganan biasanya memerlukan perubahan komplians miokard yang sesungguhnya, efektivitas obat yang kini tersedia masih sangat terbatas. Penatalaksanaan terkini paling berhasil dengan penyekat beta yang meningkatkan fungsi lusitropik, menurunkan denyut jantung, dan mengatasi gejala. Inhibitor ACE dapat membantu memperbaiki hipertrofi dan membantu perubahan struktural di tingkat jaringan pada pasien dengan remodeling iskemik atau hipertensi.
E.       Manifestasi klinis
Ada beberapa gejala yang lebih spesifik, antara lain:
1.      Nyeri
Jika otot tidak mendapatkan cukup darah (iskemia), maka oksigen yang tidak memadai dan hasil metabolisme yang berlebihan menyebabkan kejang. Angina merupakan perasaan sesak di dada atau perasaan dada diremas-remas, yang timbul jika otot jantung tidak mendapatkan darah yang cukup. Jenis dan beratnya nyeri atau ketidaknyamanan ini bervariasi pada setiap orang (Necel, 2009).
Beberapa orang yang mengalami kekurangan aliran darah bisa tidak merasakan nyeri sama sekali. Sesak napas merupakan gejala yang biasa ditemukan pada gagal jantung. Sesak merupakan akibat dari masuknya cairan ke dalam rongga udara di paru-paru (kongesti pulmoner atau edema pulmoner) (Necel, 2009).
2.      Palpitasi
3.      Pusing dan pingsan
Penurunan aliran darah karena denyut atau irama jantung yang abnormal atau karena kemampuan memompa yang buruk, bisa menyebabkan pusing dan pingsan (Necel, 2009).
F.       Klasifikasi
Kelas
Tanda
Kelas I
Tidak ada keterbatasan dalam aktivitas fisik. Aktivitas fisik tidak menyebabkan sesak nafas, fatigue, atau palpitasi.
Kelas II
Sedikit mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik.
Merasa nyaman saat beristirahat tetapi saat melakukan aktivitas fisik mulai merasakan sedikit sesak, fatigue, dan palpitasi.
Kelas III
Mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik. Merasa nyaman saat istirahat namun ketika melakukan aktivitas fisik yang sedikit saja sudah merasa sesak, fatigue, dan palpitasi.
Kelas IV
Tidak bisa melakukan aktivitas fisik. Saat istirahat gejala bisa muncul dan jika melakukan aktivitas fisik maka gejala akan meningkat.
Sumber : European Society of Cardiology (ESC), 2012. Guideline for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic heart Failure.
G.      Komplikasi
1.      Kerusakan atau kegagalan ginjal. Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, bisa yang akhirnya menyebabkan gagal ginjal jika tidak ditangani Kerusakan ginjal dari gagal jantung dapat membutuhkan dialisis untuk pengobatan.
2.      Masalah katup jantung. Katup jantung yang membuat darah mengalir dalam arah yang benar melalui jantung, dapat menjadi rusak dari darah dan penumpukan cairan dari gagal jantung.
3.      Kerusakan hati. Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Hal ini cadangan cairan dapat menyebabkan jaringan parut, yang membuatnya lebih sulit bagi hati berfungsi dengan benar.
4.      Serangan jantung dan stroke. Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung daripada di jantung yang normal, maka semakin besar kemungkinan akan mengembangkan pembekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko terkena serangan jantung atau stroke (Mayo clinic, 2009).
H.      Pemeriksaan penunjang (Davey, 2005)
Dilakukan untuk menemukan penyebab, menilai beratnya penyakit dan memantau pengobatan:
1.      Ekokardiografi: teknik esensial yang sederhana dan non invasif dalam menegakkan diagnosis etiologi, keparahan dan menyingkirkan penyakit katup jantung yang penting.
2.      EKG: MI lama, hipertrofi ventrikel kiri (misalnya pada hipertensi, stenosis aorta). Gambaran EKG yang normal sangat dijumpai pada CHF. Aritmia, misalnya pada fibrilasi atrium.
3.      Foto toraks: pembesaran jantung, kongesti paru atau edema paru.
4.      Biokimia: elektrolit, fungsi ginjal, dan hematologi (anemia), fungsi tiroid
5.      Scan isotop nuklir: bermanfaat untuk pengukuran fraksi ejeksi yang akurat (ventrikulografi isotop) atau miokardium yang tidak berfungsi (otot jantung tidak berkontraksi akibat stenosis koroner yang hebat pada arteri yang memberi nutrisi, yang akan berkontraksi bila aliran darah membaik misalnya dengan angioplasti transluminal perkutan (PTCA) atau cangkok bypass arteri koroner (CABG).
6.      Kateterisasi jantung: pada semua gagal jantung yang penyebabnya tidak diketahui untuk menyingkirkan penyakit jantung koroner kritis, atau untuk menilai keparahan PJK dan pilihan pengobatan pada mereka yang memiliki riwayat penyakit jantung iskemik.
7.      Pencatatan EKG 24 jam untuk menilai adanya aritmia.
I.         Penatalaksanaan (Davey, 2005)
1.      Terapi umum: obati penyebab yang mendasari dan aritmia bila ada. Kurangi asupan garam dan air, pantau terapi dengan mengukur berat badan setiap hari. Obati faktor risiko hipertensi dan PJK dengan tepat.
2.      Diuretik adalah dasr untuk terapi simptomatik. Dosisnya harus cukup besar untuk menghilangkan edema paru dan atau perifer. Spironolakton suatu diuretik hemat kalium (antagonis aldosteron), memperbaiki prognosis pada CHF berat.
3.      Inhibitor ACE menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, memotong respons neuroendokrin maladaptif, menimbulkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah.
4.      Antagonis reseptor angiotensin II misalnya losartan, menghambat angiotensin II dengan antagonis langsung terhadap reseptornya.
5.      Bloker β seperti bisoprolol, metoprolol dan karvedilol. Beta bloker (diberikan hanya pada pasien yang stabil, dengan dosis rendah dinaikkan bertahap) membalikkan keadaan ini dan memperbaiki status fungsional serta prognosis. Menurunkan kegagalan pompa serta kematian mendadak akibat aritmia.
6.      Digoksin memiliki efek inotropik positif pada irama sinus dan menyebabkan perbaikan simtomatik serta menurunkan tingkat perawatan di rumah sakit, walaupun tidak mempengaruhi tingkat mortalitas.
J.        Diagnosa keperawatan
1.      Penurunan curah jantung
2.      Ketidakefektifan pola napas

3.      Intoleransi aktivitas

DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica Aesculpalus. Jakarta: FKUI. 2001
Pangastuti, Devi. Asuhan Keperawatan dengan Gagal Jantung Kongestif di Rumah Sakit Roemani Semarang. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang. 2009
Necel. Gagal Jantung. Samarinda: Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. 2009
Mann, D.L. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci, A.S., et al., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Volume 2. ed. 17th USA: McGraw-Hill. 2008
Doughty, R.M., White, H.D. Epidemiology of Heart Failure. New Zealand: University of Auckland. 2007
Riaz, K. Hypertensive Heart Disease. Wright State University. 2012. Dari: http://emedicine.medscape.com/article/162449-overview
Cowie, M.R., Dar, Q. The Epidemiology and Diagnosis of Heart Failure. In: Fuster, V., et al., eds. Hurst’s the Heart. 12th ed. Volume 1. USA: McGraw-Hill. 2008.
Davey, Patrick. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. 2005

Minggu, 01 Januari 2017

LP SINDROM KORONER AKUT (SKA)

LAPORAN PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sindroma koroner akut (SKA) merupakan keadan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain akibat iskemia miokardium. Sindroma koroner akut terdiri atas unstable angina pectoris (UAP)/ unstable angina (UA), acute myocardial infarction (AMI) yang disertai elevasi segmen ST (STEMI), acute myocardial infarction (AMI) tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI). Sindroma koroner akut merupakan manifestasi klinis dari penyakit arteri koroner atau penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan manifestasi utama proses aterosklerosis, begitu pula SKA sebagai komplikasi akut aterosklerosis (Nawawi et al., 206; Sheikh et al., 2012; Nurulita et al., 2011).
Penyebab utama PJK adalah aterosklerosis (Nawawi et al., 206). Proses inflamasi terjadi dalam setiap tahap pembentukan plak aterosklerosis dan sangat mempengaruhi stabiltas plak. Makin tingi proses inflamasi, makin tingi kemungkinan plak mengalami ruptur dengan komplikasi berupa trombus dan emboli yang berakibat erjadinya nekrosis miokard. Pada pasien infark miokard akut (IMA) terjadi pembentukan plak tidak stabil dan mudah koyak yang sewaktu-waktu dapat ruptur membentuk trombus dan mengakibatkan kematian mendadak (Homentar et al., 2009).
Inflamasi pembuluh darah telah mengalami peningkatan sebelum terjadi ruptur plak. Pada SKA terjadi respon inflamasi sistemik. Mediator inflamasi vaskuler menyediakan informasi diagnostik dan prognostik pada pasien dengan SKA (Elabasi & Al-Noryani, 2006). Peningkatan tanda inflamasi memprediksi luaran pasien dengan sindroma koroner akut, terlepas dari kerusakan miokard (Lybi et al., 2002).
Penyebab SKA adalah plak koroner yang aktif sehinga menimbulkan inflamasi dan thrombus (Zulrifqi et al., 2007). Telah terbukti bahwa C - reactive protein (CRP) merangsang produksi faktor jaringan oleh sel mononuklear yang berperan sebagainisiator utama pembekuan darah. Bersama dengan fosfolipase A2, CRP dapat menyebabkan aktivasi komplemen dan mempromosikan fagositosis sel yang rusak yang diaktifkan oleh neutrofil. C- reactive protein menandakan sedang berlangsungnya aktivasi nflamasi yang mencirikan ketidakstabilan penyakit arteri koroner dan mungkin menjadi salah satu faktor penyebab ketidakstabilan (Sheikh et al., 2012). Pada pasien SKA, konsentrasi CRP dalam waktu 6 jam mulai timbulnya gejala mencerminkan proses inflamasi sebagai mekanisme penyebab pecahnya plak yang menyebabkan peningkatan CRP dalam waktu kurang dari 6 jam pada pasien SKA (Cavusoglu et al., 2010; Tomoda et al., 2000; Sheikh et al., 2012). Tinginya kadar CRP berhubungan dengan aktifitas inflamasi, perubahan aterosklerosis yang cepat dan prognosis yang jelek. Reaksi inflamasi berhubungan juga dengan nekrosis otot jantung dan ini berperan untuk meningkatkan kadar CRP (Zulrifqi et al., 2007).
B.       Pengertian
Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gejala klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UAP menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu.
Menurut pedoman American College of Cardiology  (ACC) dan American Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST ( NSTEMI) ialah apakah iskemi yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi sebentar atau adannya gelombang T yang negatif.
C.      Etiologi
Ustable Angina Pektoris(UAP) /Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh adanya aterioklerosis, spasme arteri koroner, anemia berat, artritis, dan aorta Insufisiensi.
Patofisiologi lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya angina pektoris tidak stabil :
a.    Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting penyebab angina pektoris tidak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angin tak stabil.
b.    Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukkan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten, pada angina tak stabil.
c.    Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan pada perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus.
d.   Erosi pada plak tanpa ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya poliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.
e.    Kadang bisa karena : emboli, kelainan kongenital, penyakit inflamasi sistemik.

D.      Patofisiologi
Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidakadekuatan suplay oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekakuan arteri dan penyempitan lumen arteri koroner (arteriosklerosis koroner). Tidak diketahui secara pasti apa penyebab arteriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktoer tunggal yang bertanggung jawab atas perkembangan arteriosklerosis.Pada saat beban kerja suatu jaringan meningkat, kebutuhan oksigennya juga meningkat. Apabila kebutuhan oksigen meningkat pada jantung yang sehat, arteri-arteri koroner akan berdilatasi dan akan mengalirkan banyak darah dan oksigen ke otot jantung. Akan tetapi apabila arteri koroner mengalami kekakuan atau menyempit akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen dan kemudian akan terjadi iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium.Adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi NO (nitrat oksid) yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak adanya fungsi ini dapat menyebabkan otot polos berkontraksi dan timbul spasmus koroner yang memperberat penyempitan lumen karena suplai oksigen ke miokard berkurang. Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala yang begitu nampak bila belum mencapai 75%. Bila penyempitan lebih dari 75% serta dipicu dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner akan berkurang. Oleh karena itu, sel-sel miokardium mulai menggunakan glikolisis anaerob untuk memenuhi kebutuhan eneginya. Proses pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat. Asam laktat menurunkan pH miokardium dan menyebabkan nyeri yang berkaitan dengan angina pektoris. Apabila kebutuhan energi sel-sel jantung berkurang, suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali ke proses fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan menghilangnya penimbunan asam laktat, nyeri angina pektoris mereda. Dengan demikian, angina pektoris adalah suatu keadaan yang berlangsung singkat.
E.       Klasifikasi
Pada tahun 1989 Brauwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik.
a.    Berdasarkan angina :
1)   Kelas I: angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri dada
2)   Kelas II: angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam I bulan, tapi tidak ada serangan angina dalam 48 jam terakhir
3)   Kelas III: adanya serangan angina waktu istirajat dan terjadinya secara akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.
b.    Keadaan klinis:
1)   Kelas A: angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris
2)   Kelas B: angina tak stabil primer, tak ada faktor ekstrakasdiak
3)   Kelas C: angina yang timbul setelah serangan infark jantung.
c.    Intensitas pengobatan:
1)   tak ada pengobatan atau hanya mendapatkan pengobatan minimal
2)   timbul keluhan walaupun telah mendapat terapi yang standar
3)   masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan yang maksimum, dengan penyekat beta, nitrat dan antagonis kalsium.
F.       Diagnosis
a.    Anamnesis
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.
b.    Pemeriksaan Fisik
Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi dapat terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks. Frekuensi denyut jantung dapat menurun, menetap, atau meningkat pada waktu serangan angina.
c.    Pemeriksaan Penunjang
1)   EKG
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda ergometer. Tujuan dari stress test adalah:
a)    menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak
b)   menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh darah utama akan
c)    memberi hasil positif kuat.
Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen ST, depresi segmen STdisertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang ikatan His dan tanpaperubahan segmen ST dan gelombang T. perubahan EKG pada ATS berdifat sementaradan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan. Perubahan tersebutimbul di saat serangan angina dan kembali ke gambaran normal atau awal setelah keluhanangina hilang dalam waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atauterjadi elevasi gelombang Q, maka disebut sebagai IMA.
2)   Enzim LDH, CPK, dan CK-MB
Pada ATS kadar enzim LDH dan CPK dapat normal atau meningkat tetapi tidak melebihi50% di atas normal. CK-MB merupakan enzim yang paling sensitive untuk nekrosis ototmiokard, tetapi kadar dapat terjadi positif palsu. Hal ini menunjukkan pentingnyapemeriksaan kadar enzim secara serial untung menyingkirkan adanya IMA.
G.      Penatalaksanaan
1.    Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.
2.    Terapi Medika Mentosa
1)   Obat anti-iskemia
a)    Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen (Oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen suplay dengan vasodilatsai pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian intravena : 1-4 mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali maka dapat diganti dengan per oral.
Preparat :
                            Nitrogliserin      :                   Nitromock 2,5 - 5 mg tablet sublingual
                                                                           Nitrodisc 5- 10 mg tempelkan di kulit
                                                                           Nitroderm 5-10 mg tempelkan di kulit
Isosorbid dinitrat    :           Isobit 5-10 mg tablet sublingual
                                                                           Isodil 5-10 mg tablet sublingual
                                                                          Cedocard 5-10 mg tablet sublingual
b)   β-blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Berbagai macam beta-blocker seperti propanolol, metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi pemberian penyekat beta antra lain dengan asma bronkial, bradiaritmia.
c)    Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium :
-       golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit dan efek inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)
-       golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan keutungan pada golongan nondihidropiridin pada sindrom koroner akut dengan faal jantung normal (Contoh : verapamil dan diltiazem).
2)   Obat anti-agregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tidak stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga gologan obat anti platelet yang terbukti bermanfaat seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIa.
a)    Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51% sampai 72%  pada pasien dengan angina tidak stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg/hari.
b)   Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan obat kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping granulositopenia.
c)    Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang dapat menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin . Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari dan selanjutnya75 mg/hari.
d)   Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Pada saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui :
-       absiksimab suatu antibodi mooklonal
-       eptifibatid  suatu siklik heptapeptid
-       tirofiban suatu nonpeptid mimetik
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil maupun untuk obata tambahan dalam tindakan PCI terutama pada kasus-kasus angina tak stabil.
3)   Obat anti-trombin
a)    Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin akan bekerja menghambat trombin dan dan faktor Xa. Heparin juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel yang mempengaruhi bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga diperlukan pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b)   Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida heparin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempuyai ikatan terhadap protein plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium.
c)    Direct Thrombin Inhibitors
Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan karena bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat oleh plasma protein maupun platelet factor 4.  Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark miokard, tetapi komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT).
4)   Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemi berat dan refakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan operasi bypass (CABG) mengurangi masuknya kembali ke rumah sakit. Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah atau bila ada kontraindikasi tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan utama.
Teknik-teknik invasif misalnya percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA) dan bedah pintas arteri koroner dapat menurunkan serangan angina klasik. Dengan PTCA,lesi aterosklerotik didilatasi oleh sebuah kateter yang dimasukkan melalui kulit ke dalam arteri femoralis atau brakialis dan di dorong ke jantung. Setelah berada di pembuluh yag sakit, balon yang ada di kateter digembungkan. Hal ini akan memecahkan plak dan meregangkan arteri. Dengan bedah pintas, potongan arteri koroner yang sakit diikat, dan diambil arteri atau vena dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak sakit. Aliran  darah dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh yang paling sering ditransplantasikan adalah vena safena atau arteri mamaria interna. Pemasangan selang artificial atau stent ke dalam arteri agar tatap terbuka kadang-kadang dilakukan dengan keberhasilan yang bervariasi. Bedah pintas koroner menghilangkan nyeri angina tetapi tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas jangka-panjang.


3.    Terapi Non Medika Mentosa
1)   Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah (penurunan volume sekuncup) dengan kecepatan yang lambat (penurunan kecepatan denyut jantung). Hal ini menurukan kerja jantung sehingga kebutuhan oksigen juga berkurang. Posisi duduk adalah postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya berbaring, meningkatkan aliran balik darah ke jantung sehingga terjadi peningkatan volume diastolik akhir, volume sekuncup dan curah jantung.
2)   Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung.
H.      Pencegahan
a.    Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB, penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.
b.    Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi, hipertensi, penyakit DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.
c.    Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui mencetuskan serangan angina klasik pada seseorang.
d.   Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga untuk meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi serangan jantung.
I.         Komplikasi
a.    Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi akibat kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon letal terakhir terhadap iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel miokardium mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk menghasilkan ATP secara aerobs lenyap dan sel tidak memenuhi kebutuhan energinya.
b.    Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering didapat dan dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung dan tekanan darah turun banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat juga menyebabkan angina, gagal jantung.
c.    Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien tubuh. Gagal jantung disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik. Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa gagal jantung sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat hipertensi yang lama (kronis). Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera pada ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard.